Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Setelah Hampir Tujuh Tahun Tidak Mudik

26 Mei 2017   02:26 Diperbarui: 26 Mei 2017   18:54 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta memang menjadi kampung bagi masyarakat yang berasal dari Aceh hingga Papua. Tapi, kampung mereka sendiri tetap saja di mana mereka berasal. Tak heran jika menjelang lebaran, mereka bersedia menghabiskan banyak uang hingga tenaga, hanya untuk dapat menjalani sebuah "tradisi" rutin yang disebut mudik. Bahkan, ribuan kilometer tak menjadi penghalang bagi mereka yang merindukan kampung halaman.

Tak terkecuali masyarakat etnis Aceh yang ditaksir mencapai 30 ribu yang berdomisili di Jakarta. Nyaris saban tahun, mereka beramai-ramai memilih pulang; sebagian dengan pesawat komersil, dengan kendaraan pribadi, dan tak jarang juga yang memilih menggunakan moda transportasi semisal bus.

Saya sendiri, memang telah hampir tujuh tahun tak pernah pulang ke Aceh yang merupakan kampung halaman sendiri. Tapi, mudik pun tak lepas dari rutinitas, tak punya banyak kesempatan pulang ke orang tua, jadilah pulang ke rumah mertua. Terkadang mengandalkan bus, dan tak jarang mengandalkan sepeda motor. Jika kendaraan terakhir saya pilih, maka anak dan istri saya minta untuk pulang jauh-jauh hari dengan bus umum sebelum masyarakat se-Jakarta disibukkan oleh mudik.

Langkah itu memang saya ambil, agar anak dan istri tak perlu direpotkan dengan berbagai hal di luar bayangan di momen-momen krusial dalam tradisi mudik itu. Sementara saya, mau tak mau memang baru bisa "tancap gas" setelah jatah libur dipastikan--biasanya mendekati lebaran. Jadilah kerepotan saya tanggung sendiri--bersepeda motor sendirian dari Jakarta ke Bandung sejak subuh buta, tanpa perlu mengikutsertakan anak-istri untuk merasakan kerepotan serupa karena mereka sudah mudik lebih dulu.

Tapi skenario atau cara menyiasati kepadatan mudik ini tentu saja takkan leluasa diterapkan oleh semua orang. Terlebih lagi memang tak sedikit warga DKI yang sama-sama bekerja, dan ini memaksa mereka tetap hanya dapat menjalani tradisi mudik di tengah kondisi sedang padat-padatnya--saran, jika istri Anda tidak bekerja, tetap lebih baik diminta mudik jauh-jauh hari sebelum hari-hari padat.

Sikap itu juga mirip dengan keputusan saya pribadi hingga bertahun-tahun tak pulang ke Aceh dan lebih memilih ke Bandung. Bukan tanpa alasan; selain anak masih kecil, perjalanan jauh, hingga medan yang harus ditempuh pun tak mudah. Apalagi saya sendiri memang bukan ayah yang "terlalu berani" mengajak anak istri menempuh perjalanan berat bersama-sama, hanya sekadar untuk sebuah tradisi. Bagi saya, mereka yang menjadi tanggung jawab saya mesti mendapatkan hal-hal yang lebih nyaman dan lebih baik, sementara yang lebih sulit biar untuk saya sendiri.

Terlepas jika kembali ke sudut pandang dan tradisi sebagai ureung Aceh, tidak pulang mudik saat lebaran itu acap terlihat sebagai sebuah ketegaan. Terlebih, sejak dari ayunan pun telah ditanamkan lewat jangeun (nyanyian), "Poma dengoen ayah, keulhee ngon guree, ureung nyan ban lhee beutapeumulia..."

Sekadar bicara perjalanan, menempuh perjalanan ke Aceh dengan pesawat terbang memang terbilang lebih enteng. Anda hanya menghabiskan 5-6 jam, dengan taksiran satu jam dari rumah ke bandara Soekarno Hatta, dua-tiga jam di udara, dan sejam dari bandara di Aceh ke kabupaten atau kota masing-masing--terutama yang dekat dengan bandara. Kecuali bagi kabupaten yang jauh dari ibu kota provinsi, seperti Meulaboh atau Jeuram--kota kecil tempat saya berasal, maka membutuhkan sekitar empat jam lagi dari bandara di Aceh Besar.

Tapi menggunakan transportasi udara tetap saja tak mudah, lantaran sedikit kalah cepat maka tak ada lagi seat tersisa. Bukan hal mengherankan, satu sisi, lantaran dari catatan Kemenhub pun ada sejumlah 4,92 juta pada lebaran 2016 lalu yang menggunakan transportasi udara--dan tahun ini ditaksir akan mencapai 5,40 juta, tersebar ke berbagai destinasi ke seluruh Indonesia.

Belum lagi karena memang harga tiket pun bisa melebihi 2 juta per orang--terutama tujuan Aceh, dan itu baru kelas ekonomi. Jadi, jika Anda memiliki dua-tiga anggota keluarga, kalikan saja berapa uang yang harus Anda keluarkan untuk bolak-balik Jakarta-Aceh dan Aceh-Jakarta.

Bagaimana dengan transportasi darat? Pun takkan serta merta mudah. Namun kebanyakan masyarakat Aceh di Jakarta sering kali memilih pulang bersama-sama. Bagi mereka, tamita raseuki sipanyang thoen, lam sithoen tasaweu gampong--terj: kita mencari rezeki sepanjang tahun, sekali setahun mengunjungi kampung apa salahnya.

Maka itu, mereka akan secara beramai-ramai pulang bersama-sama. Tak semuanya memiliki kendaraan pribadi, kecuali hanya sebagian saja, itu pun yang memang telah betul-betul matang dan sukses di Jakarta. Meski begitu, mereka yang berstatus pemilik kendaraan itu, tak jarang melepaskan kendaraan itu untuk dibawa pulang oleh rekan-rekan sekampungnya; dipinjamkan dengan bahan bakar ditanggung peminjam. 

Jika bepergian atas alasan apa pun, tetap lebih baik tak perlu menunggu hingga padat lebih dulu - Gbr: Pribadi
Jika bepergian atas alasan apa pun, tetap lebih baik tak perlu menunggu hingga padat lebih dulu - Gbr: Pribadi
Tak jarang juga, pemilik kendaraan sekaligus memberikan sejumlah uang untuk bahan bakar, karena berpikir kendaraan itu pun akan dikembalikan setiba di Aceh untuk mereka gunakan sendiri.

Saban keudroe-droe, beu tameujeut-jeut. Begitulah prinsip yang acap dilontarkan masyarakat Aceh, terutama yang berasal dari belahan pantai barat Aceh--yang juga kawasan saya berasal. Artinya, sesama kalangan sendiri, semestinya saling bertenggang rasa.

Jadi, bagi masyarakat Aceh yang tak punya biaya untuk pulang lewat udara atau bahkan jalan darat, mereka akan merembukkan permasalahan itu, dan mudik bareng menjadi pilihan. Yang memiliki mobil akan menyerahkan mobilnya untuk dipinjam atau bahkan mereka menyetir sendiri namun mengizinkan rekan-rekannya berbarengan di dalamnya. Yang tak memiliki kendaraan, akan membantu dengan kesediaannya menyetir, atau jika tak bisa menyetir maka akan membantu menanggung konsumsi dari makanan di perjalanan hingga bahan bakar.

Itulah yang dilakukan masyarakat Aceh di Jakarta, selama puluhan tahun dan masih berlangsung hingga kini. Saya termasuk salah satu yang tak memanfaatkan berbagai hal itu karena banyak pertimbangan; dari tak ingin merepotkan orang lain, hingga tak ingin membuat anak-istri kesulitan. Jadi, sementara cukuplah saya hanya menjadi penyimak cerita teman-teman sekantor yang memilih mudik tiap lebaran. 

Walaupun, terkadang berbagai keluhan mereka lemparkan, "Sial, cape-cape di jalan, sampai kampung justru setelah hari H lebaran!" rutuk beberapa teman, karena waktu yang harus dihabiskan di perjalanan di luar ekspektasi. 

Terlepas, kini pemerintah memang telah memiliki inisiatif untuk turut membantu bagi yang ingin menjalani mudik. Bahkan, per 2017 ini--menurut data Kemenhub--ada 3.409 bus yang akan dikerahkan, yang dapat membantu 208,435 orang dapat pulang dengan program mudik gratis. Lagi-lagi, yang terjangkau sejauh ini tentu saja yang berjarak terbilang di bawah 2 ribuan kilometer, atau di seputaran Jawa hingga Lampung.

Kehadiran program mudik gratis itu setidaknya memang telah membawa dampak cukup besar, membantu jauh lebih banyak orang untuk dapat kembali menghirup udara di kampung masing-masing. Itu terlihat dari besaran pemudik yang mengikuti program tersebut, jika per 2015 hanya mencapai 12.190 orang, pada 2016 lalu mencapai 16.758 ribu.

Belum lagi karena mitra pemerintah dari berbagai perusahaan pun bersedia turun tangan. Pada 2015 mereka telah membantu 92.994 pemudik, pada 2016 lalu bahkan mencapai 135.074 pemudik, yang berarti ada kenaikan hingga 42.080.

Hal menarik adalah kesadaran pihak perusahaan angkutan umum pun ada sinyal lebih baik, sehingga kalaupun ada kalangan masyarakat yang tak berkesempatan menikmati fasilitas diberikan pemerintah lewat mudik gratis tak terlalu terusik dengan harga karcis. Itu memang tercatat dalam Analisa dan Evaluasi (Anev) Angkutan Lebaran Tahun 2016/1437 H; yang menunjukkan adanya penurunan jumlah pelanggaran dalam hal tarif angkutan umum.

Ilustrasi: SC Data Kemenhub
Ilustrasi: SC Data Kemenhub

Pada 2015, dari catatan Anev, terlihat ada pelanggaran sebesar 52,83 persen dari 106 kendaraan yang diperiksa. Sementara pada 2016, dengan 261 kendaraan yang diperiksa, hanya terjadi pelanggaran mencapai 20,31 persen. Ini menjadi sebuah bentuk kedewasaan yang sangat pantas diapresiasi.

Sinyal positif juga terlihat dalam kedewasaan publik dalam berlalu lintas. Dalam dua tahun terakhir, mulai terlihat penurunan jumlah kecelakaan dalam arus mudik, berdasarkan data Polri yang juga dirilis Kemenhub via Resume Rencana Operasi Angkutan Lebaran 2017.

Itu terlihat dari jumlah kecelakaan mobil penumpang pada 2015 menyentuh angka 1.024, pada tahun lalu menurun dan hanya terjadi sebanyak 864. Sementara mobil bus yang mengalami 241 kecelakaan per 2015, hanya mengalami sebanyak 157 per 2016. Begitu juga sepeda motor, yang pada 2015 mencapai angka 4.661 kecelakaan, pada 2016 menurun menjadi 3.766.

Bagi saya pribadi, kesadaran itu juga yang saya tanam pada diri sendiri, sehingga saat ingin mudik ke Bandung pun lebih memilih sendiri, dan meminta anak dan istri menggunakan kendaraan umum yang lebih aman dan berangkat jauh-jauh hari. Terlebih mengingat lagi, jika urusan yang bisa disiasati sendiri harus melibatkan pemerintah, terasa terlalu manja. Walaupun iya, tak semua yang terpaksa mudik di masa sibuk adalah mereka yang manja.

Namun, beberapa hal yang memang masih dapat disiasati dan diatasi sendiri memang sebaiknya dituntaskan saja; semisal tak menunggu hari-hari di mana arus mudik memuncak baru bepergian. Atau jika terpaksa mengambil hari puncak, jumlah yang ikut serta dari satu keluarga hanya berjumlah lebih sedikit, misalnya, sebagian harus lebih dulu berangkat dan yang lain menyusul.

Jika tidak, menyiasati agar tak saban tahun harus pulang pun dapat menjadi pilihan--dan ini saya lakukan. Terlepas mungkin ada persoalan kerinduan akan kampung halaman, berbagai hal yang berhubungan dengan keselamatan dan berbagai hal lainnya, tetap masih layak dipertimbangkan.

Langkah-langkah sederhana begitu mungkin tak terlalu berpengaruh, tapi banyak hal dapat membawa pengaruh terlalu besar hanya karena melihat sesuatu hanya sebagai hal sederhana saja. 

Lalu, kenapa sampai tujuh tahun tak mudik? Ya, saya masih dapat mengunjungi tanah kelahiran sendiri tanpa perlu menunggu jalanan penuh atau sampai harga tiket melonjak meninggi.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun