Per Jumat (28/4), Kompas.com menayangkan berita khusus yang berisikan pembelaan Buni Yani, sekaligus tudingannya bahwa masalah yang sedang menimpanya hanya karena kesalahan buzzer. Di berita berjudul Buni Yani Anggap Hidupnya Hancur gara-gara "Buzzer" Ahok, sosok di balik serentetan keriuhan menjelang Pilkada Jakarta tersebut tak menerima dirinya disalahkan.
"Buzzer ini sangat biadab. Memfitnah orang, menghancurkan hidup orang, tapi mereka tidak pernah puas," katanya, seperti dikutip dari Kompas.com.
Tak berhenti di situ, melalui akun Twitter @BuniYani, ia pun makin sering meluapkan kemarahan. Sebut saja cuitannya pada pada tanggal 26 April, dia juga melempar tudingannya kepada buzzer sebagai pemicu masalahnya. Wahai para buzzer, realistislah. Hashtag yg kalian bikin tdk lagi jadi trending topic. Kalian tak lagi digdaya. Berhentilah songong.
Cuitan itu saja, per Sabtu dini hari (29/4) mendapatkan retweet sebanyak 169 kali.
Jika menyimak cuitan itu saja, respons bernama cemooh dan mengarah ke bully pun jauh lebih menonjol dibandingkan yang membelanya.
Berusaha berempati atas apa dialaminya, memang, beban psikologis yang kini diterimanya jauh lebih besar terlepas di permukaan dia berusaha menampik dan ingin melupakan kasus tersebut. Tekanan atasnya memang sangat besar, dan rawan mengundang frustrasi mendalam.
Apalagi, dia pun--seperti dilansir Kompas.com--mengaku merasa makin merasa terintimidasi. Bahkan ia sempat mengeluarkan pengakuan, "Sering juga ada mobil yang berhenti di depan rumah saya yang membuat istri saya takut."
Tapi empati tentu saja bukanlah mengikuti mengakui sebuah kesalahan sebagai hal benar. Satu langkah paling penting dilakukan pria yang konon sedang menempuh S3 di Leiden tersebut, mengakui kesalahan sebagai kesalahan. Meminta maaf kepada publik setulus-tulusnya.
Terlepas memang ada banyak yang menaruh kemarahan atasnya, tampaknya publik masih dapat memaafkan sepanjang ia bisa menunjukkan sebuah iktikad baik. Bahkan, akan sangat elegan jika ia menemui Ahok dan mengikrarkan permintaan maaf mendalam. Jika perlu, itu direkam lagi dan diunggah ke publik.
Sikap ksatria ini, tidak saja akan membuatnya lebih memiliki kemungkinan agar dimaafkan publik yang terluka olehnya, tapi juga empati yang kini dibutuhkan untuk mengembalikan kesehatan psikologisnya akan lebih mudah didapatkan.
Sayang, sejauh ini ada kesan egoisme besar yang diperlihatkan olehnya. Misal saja saat ia tampil di Indonesia Lawyer Club, ia sempat mengutarakan permintaan maaf. Belakangan, pada 7 November 2016, ia justru membatalkan permintaan maafnya sendiri.