Presiden paling rajin membagikan sepeda sepanjang sejarah adalah Joko Widodo. Meskipun, iya, belum ada survei khusus untuk mengukur kebenaran dari pernyataan tersebut, tapi itu sedikit banyak ada benarnya jika membaca berita, tak ada presiden lain sesering Jokowi dalam membagikan sepeda. Tak percaya? Bayangi saja senyum Raisa setelah ia mendapatkan hadiah sepeda. Nah!
Tak hanya Raisa yang memang sempat membuat saya kebingungan ingin menulis soal sepeda atau tentang dia saja. Tapi, ada banyak anak-anak, entah karena prestasi atau karena latar belakang ekonomi, pun mendapatkan hadiah sepeda dari presiden yang pernah menjadi wali kota tersebut.
Bahkan beberapa hari lalu, lewat Facebook, Jokowi mengajak pengikut akunnya untuk menjawab sebuah pertanyaan beraroma masa depan. Bagi pemberi jawaban terbaik, lagi-lagi akan dihadiahi sepeda.
Bagi Raisa, maaf jika nama ini jadi lebih sering saya sebut; ya bagi siapa saja yang mendapatkan sepeda itu, tentu menjadi sejarah tersendiri. Saya yakin, jika sepeda itu ditawari dengan harga berkali lipat agar mereka jual, dapat dipastikan takkan dilepas--kecuali mungkin ada kalangan pria yang ingin menikah dua kali namun kehabisan modal, boleh jadi akan melegonya.
Itu tentu saja hak mereka yang ingin menikah lagi. Sedangkan yang lain, terutama yang belum mendapatkan hadiah sepeda itu tentu saja akan sama seperti saya, kok harus sepeda? Sementara yang lebih cerdas dan yang ingin terlihat cerdas lebih tertarik menanyakan, dari mana uang untuk membeli sepeda begitu banyak? Dan, seringnya, pertanyaan itu disampaikan dengan curiga.
Tapi, terkait sumber dana pengadaan sepeda itu pun ternyata pernah dijelaskan oleh tangan kanan presiden itu sendiri, Darmansyah Djumala yang tak lain Kepala Sekretariat Presiden. "Memang ada anggaran untuk itu. Dari APBN," kata Darmansyah, seperti dilansir KOMPAS.com.
Terlalu sederhana, sekilas. Kok sepeda pemberian seorang presiden harus diulas secara khusus. Ya, terlalu sederhana jika hanya dari sisi sepeda itu semata. Tapi, jika melihat lebih mendalam, ada banyak pesan dari sana:
Filosofi
Dalam bersepeda, tak ada mesin yang digunakan. Mereka yang bersepeda hanya mengerahkan tenaganya, memanfaatkan tangan untuk memegang kedua setang, dan kedua kaki untuk mengayuh.
Sederhana. Tapi, bukan remeh. Karena dari aktivitas bersepeda jugalah, fisik bergerak lebih aktif, keringat pun keluar, dan mata lebih leluasa menikmati realita di sekeliling. Sedikitnya, ini juga mewakili perjalanan karier Jokowi sendiri, dari "sekadar" tukang kayu, menjadi wali kota, meloncat ke kursi gubernur, dan jadi presiden.
Betapa banyak yang menaruh iri kepadanya. Kok bisa seseorang yang terbilang tak dikenal di masa lalu, jadi buah bibir banyak orang, dan berani bertarung untuk menduduki kursi presiden.
Dia menerapkan filosofi sepeda itu. Tak ada mesin luar biasa kecuali kaki dan tangan, dan kejelian membaca jalan. Pemilik kendaraan terbaik sekalipun, dengan mesin terbaik, jika hanya membanggakan mesin dan menihilkan kekuatan tangan dan kaki, menutup mata untuk membaca jalan karena mengira semua sudah mampu dijawab mesin, maka mesin berbunyi keras tapi tak mengantarkan ke mana-mana.
Sebaliknya, dengan sepeda, meski tanpa mesin namun di sini ada pesan kuat bahwa zaman boleh maju dan canggih, tapi ada kekuatan dari tangan dan kaki. Sebab, kaki pun akan lebih mudah menapak tanah, tetap akrab dengan bumi, sekaligus mengikat "persahabatan" dengan tiap jengkal tanah yang dilalui.
Perjalanan dengan sepeda tentu memakan waktu lama. Toh, Jokowi pun baru dikenal di ranah politik belakangan, jauh di belakang seabrek tokoh tertentu yang bahkan punya mesin partai politik namun bahkan kesulitan untuk menyalip si pengayuh sepeda.
![Salah satu anak yang juga mendapatkan hadiah sepeda dari Presiden Jokowi - Gbr: KOMPAS.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/21/sepeda-58d12c4c4ef9fd3b0651acb2.jpg?t=o&v=770)
Ini menjadi pesan lain dari sepeda. Keseimbangan benda ini hanya didapatkan jika ia melaju. Ia bisa seimbang tanpa dikayuh hanya untuk beberapa saat, sedangkan untuk ia tetap bertahan seimbang, cuma dengan mengayuh.
Tak perlu kayuhan yang membutuhkan tenaga besar. Gerakan-gerakan kecil dengan sisa-sisa tenaga saja sudah cukup untuk membuat roda bergerak, dan sepeda tetap menelusuri jalanan. Sambil mengayuh, pesepeda pun bisa leluasa menikmati kehangatan matahari, bagaimana sepoi-sepoi angin, dan lalu-lalang orang-orang tanpa ada penghalang.
Seorang pesepeda bisa menikmati perjalanan ratusan kilometer. Tapi bagaimana melelahkan perjalanan itu terbayar dengan bugarnya badan, dan juga pemandangan didapatkan yang menyegarkan jiwa.
Dari aktivitas bersepeda itu juga seseorang lebih tergerak untuk mendapatkan sesuatu dengan harga terpantas. Tak terburu-terburu, terbiasa dengan ketenangan, namun tak melepaskan diri dari mengingat ke mana perjalanannya ingin diarahkan. Dan, tak memaksa sesuatu harus selalu didapatkan dengan cepat.
Menyehatkan
Mereka yang sehat cenderung lebih bahagia, tak dirisaukan penyakit, dan memiliki tubuh lebih kuat. Kegiatan bersepeda diakui sebagai olahraga menyehatkan, dan mereka cenderung melihat jauhnya perjalanan meski berat namun bukan sebagai beban, melainkan sebagai tantangan.
Tentu saja, mau sudut pandang manapun, perjalanan jauh pastilah berat. Yang membedakan, mereka yang bisa melihat perjalanan itu sebagai tantangan akan lebih dapat menikmati inci demi inci perjalanannya.
![Ada pesan besar dari sepeda yang dihadiahkan Jokowi - Gbr: Sidomi.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/21/jokowi-sepeda-58d12d3fde22bd413a7a779e.jpg?t=o&v=770)
Ya, merenung-renung sepeda, dan kenapa Jokowi rajin membagi kendaraan tanpa mesin itu, mengantarkan saya pada poin-poin itu.
Itu bukan sekadar hadiah. Tapi Jokowi yang memang tak lihai memoles kata-kata itu, memilih mengirimkan pesan lewat apa diberikannya itu. Walaupun untuk menangkap pesan itu, tak ada jaminan, semua penerima sepeda menangkapnya dengan tepat.
Termasuk saya, bisa tergerak merenungi ini karena menangkap keceriaan dari wajah anak-anak yang pernah menerima sepeda dari presiden Indonesia itu. Itu saja? Tidak. Tapi juga karena terbayang-bayang manisnya senyum Raisa, penyanyi luar biasa cantik itu. Kenapa dia bisa cantik?
Mungkin itu cuma terjawab jika saya mendapatkan juga sepeda dari presiden, atau jika tidak; saya mendapatkan Raisa. Tapi, lamunan terakhir itu terlalu nekat, sebab jika lamunan itu berlanjut artikel ini dibaca istri--terutama paragraf terakhir--rentan membuatnya berubah wujud menjadi ibu tiri yang kejam. Oh Tuhan.*
(Artikel ini juga tayang di situs pribadi www. tularin.com)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI