Alasannya, karena hasil dari sebuah investasi di liga-liga Eropa terasa jauh lebih meyakinkan dibandingkan di klub-klub Asia Tenggara dengan kompetisi yang ada di sini.
Jangan heran pula jika selama ini, klub-klub Asia Tenggara--terutama Indonesia--lebih sering mendatangkan pemain yang dapat dibilang tak lagi "dipake" di negara asal mereka; entah dari Amerika atau bahkan belahan Afrika.
Ada kesan, negara Asia lebih sering menampung pemain yang terbuang.
Kesan begitu terasa terlalu kasar, mungkin. Tapi jika melihat realitas, juga ada benarnya.
Berkaca ke kasus Essien, misalnya, kenapa ia akhirnya berlabuh ke Indonesia? Tak sedikit media Eropa yang secara terbuka menyebut itu keputusan yang lahir dari frustrasi pemain itu sendiri; alih-alih klub besar Eropa, klub kecil di Benua Biru saja enggan "buang-buang uang".
Bagi klub Eropa, terlepas mereka berkompetisi di ajang kelas kacangan pun, tetap ingin mendapatkan pemain yang masih mampu memberikan performa, tenaga, dan skill meyakinkan alih-alih sekadar nama besar.
Apakah itu kabar itu mengada-ada?
Mungkin saja, setidaknya kesan yang rentan terasa. Tapi pada faktanya berbagai media Eropa, di awal Maret ini saja ada yang membeberkan fakta bahwa ada tiga klub kecil Swedia yang memilih menolak merekrut Essien.
Alasan mereka, seirama disebut sebelumnya, karena mereka menginginkan pemain yang bisa "melakukan apa di lapangan pertandingan" bukan sekadar berapa besar nama pemain dan pamor dimilikinya di masa lalu.
AIK, Hammarby, IFK Goeteborg--klub-klub yang bisa dibilang tak diperhitungkan di Eropa--tercatat sebagai tiga klub Swedia yang memilih mencoret nama Essien dari daftar belanja pemain.
Pertanyaannya, apakah Persib keliru mendatangkan Essien?