Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berkepala Dingin atas Kasus Ernest dan Jusuf Kalla

9 Maret 2017   00:45 Diperbarui: 4 April 2017   16:14 3035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya memilih berbaik sangka, bahwa Ernest ingin orang-orang tidak dilarutkan oleh pamor Zakir Naik yang selama ini acap dicitrakan sebagai tokoh Islam dunia. Walaupun pada riilnya di Indonesia memang sangat banyak yang memuja tokoh asal India tersebut.

Cuitan yang belakangan menjadi masalah - Gbr: Brilionet
Cuitan yang belakangan menjadi masalah - Gbr: Brilionet
Saat Ernest mengkritik sambutan Kalla atas Zakir Naik, saya memilih melihatnya sebagai kritikan seorang anak bangsa kepada sesamanya. Ia tidak berangkat dari kebencian karena perbedaan agama. Ada kegelisahan yang dipendamnya, bahwa selama ini lantaran perbedaan agama kerap kali dimanfaatkan banyak pihak untuk berupaya membenturkan satu kelompok agama dengan agama lainnya.

Sayang sekali, kritik yang disampaikan Ernest justru ditangkap berbeda oleh pengguna jejaring sosial di negeri ini. Pandangan yang menonjol lebih banyak berisi vonis, dan tak sedikit dengan keji menyebut pernyataan Ernest hanyalah ekspresi kebencian non-Islam dan seorang Cina kepada masyarakat Islam.

Kesimpulan-kesimpulan yang dikembangkan oleh sekelompok orang yang rajin memelihara propaganda dan kemarahan umat Muslim itulah yang akhirnya mendapatkan tempat. Itu menjadi senjata mereka dan menjadi pemicu hujatan kencang kini terarah kepada Ernest. Berbagai kalimat tak pantas dan cenderung melecehkan pribadi, etnis, dan agama Ernest pun bermunculan di jejaring sosial.

Dia nyaris seorang diri saja menghadapi berbagai hujatan tersebut. Ia dikeroyok meski lewat jejaring sosial, dan itu dilakukan oleh kita yang rajin mengklaim diri sebagai penganut agama terbaik! Kita tidak malu pada diri sendiri?

Satu sisi fenomena itu tak terlalu mengagetkan, karena mereka yang berpikiran terbuka masih relatif dinilai ganjil oleh sebagian masyarakat. Sedangkan kalangan masyarakat yang eksklusif dalam beragama, biasanya memang menutup diri dari luar kelompok mereka.

Bahkan ada kecenderungan sebagian kelompok agama bahwa membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan "masalah internal" adalah hal yang tabu.

Tapi justru di situ ada yang absurd. Figur seperti Ernest yang bekerja di dunia entertain didesak untuk tidak coba-coba menantang kecenderungan mereka yang acap mengklaim sebagai kalangan yang telah mendapatkan "wahyu" berupa kebenaran mutlak.

Topik diangkat Ernest seputar Zakir Naik dianggap sebagai sinyal bahwa ia menantang mereka. Itu dinilai sebagai sesuatu yang tak dapat ditoleransi, bahkan ada yang berpandangan itu sebagai tindakan yang telah meremehkan kemuliaan Islam.

Padahal jika ingin ditegaskan, apakah mengkritisi seorang Zakir Naik adalah melecehkan Islam? Tentu saja tidak. Toh selama ini, Zakir sendiri getol menyorot "kekurangan" agama lain, namun tak pernah sampai membawanya ke tingkat penistaan pribadi.

Padahal jika ingin mempersoalkan Zakir Naik, mengingat begitu banyak agama dikuliti olehnya, bisa saja dia dituntut oleh seluruh pemeluk agama lain atau bahkan ateis. Apalagi, menurut IslamCity.com pada 2006 lalu, dia pun sampai menantang Paus Benedict XVI untuk berdebat--meski ia memahami bagaimana posisi Sri Paus di tengah umat Nasrani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun