Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lewat Asap Rokok, Kita Disihir RUU Pertembakauan

8 Maret 2017   00:22 Diperbarui: 8 Maret 2017   20:03 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Faisal Basri memaparkan sudut pandangnya seputar efek dari RUU Pertembakauan - Gbr: Zulfikar Akbar

Menurut Faisal, jika pihak kementerian itu gagal dalam menerjemahkan peta persoalan dan dampak yang dapat ditimbulkan, maka yan kelak terjadi justru akan merepotkan pihak kementerian itu sendiri.

Julius Ibrani (paling kiri) saat melanjutkan obrolan di sela-sela makan siang seputar RUU Pertembakauan - Gbr: Zulfikar Akbar
Julius Ibrani (paling kiri) saat melanjutkan obrolan di sela-sela makan siang seputar RUU Pertembakauan - Gbr: Zulfikar Akbar
Begitu juga dengan Julius Ibrani sebagai anggota Solidaritas Advokat Peduli Pengendalian Tembakau (SAPTA), turut menyampaikan berbagai konsekuensi yang kelak harus ditanggung jika dalam perjalanan RUU itu tak terbendung lagi.

Sebab, kata Julius, bukan rahasia lagi jika pihak industri besar kerap kali menjadikan kekuatan pemerintah dan parlemen sebagai alat mereka untuk memuluskan suatu kepentingan.

"Ada strategi yang selama ini digunakan industri rokok di dunia seperti melakukan intervensi menggagalkan kebijakan negara," kata Julius yang juga pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia tersebut, merujuk catatan Corporate Accountability International Reports. "Mereka bisa mengeksploitasi celah legislatif, termasuk menyogok legislator."

Menurutnya lagi, fenomena serupa juga kuat dugaan terjadi di Indonesia. Terlebih proses legislasi tentang tembakau di DPR RI berjalan dengan banyak kejanggalan. Julius mencontohkan dengan RUU Kesehatan tahun 1992 dan 2009, dan kasus "ayat hilang", termasuk di RUU Pertembakauan dengan kejanggalan dari prosedur dan substansi. "Termasuk copy paste ketentuan yang ditolak di RUU atau regulasi lain, seperti RUU Kebudayaan dan Permenperin 63/2015.

Fenomena disampaikan Julius itu memang tak lepas dari fakta yang terjadi pada 2015 lalu. DPR disinyalir menyelundupkan pasal ihwal kretek dalam draf Rancangan Undang-Undang Kebudayaan, sehingga rokok kretek dilindungi sebagai warisan kebudayaan.

Saat itu, salah satu politikus bernama Taufiqul Hadi, sempat menyebut alasan kebudayaan menjadi pendorong pihaknya memasukkan rokok kretek dalam RUU tersebut. "Karena sifatnya yang unik," katanya saat itu. "Tidak ada di dunia lain tradisi meramu tembakau dengan cengkeh kecuali di Indonesia."

Julius melihat itu tak lebih sebagai alasan yang dicari-cari kalangan legislatif agar gelagat mencurigakan dari "menyelundupkan" pasal rokok ke dalam RUU Kebudayaan terlihat benar dan seolah murni kepentingan pelestarian budaya.

Sanggahan Julius tersebut juga senada dengan bantahan yang pernah diutarakan oleh Kartono Mohamad yang juga penasihat komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Menurut Kartono, masih banyak hal lain yang semestinya bisa dimasukkan ke dalam RUU Kebudayaan. "Keris saja tidak dimasukkan--ke dalam RUU Kebudayaan. Kenapa pula (rokok) disebut khusus sebagai salah satu warisan budaya?"

Tak pelak, fenomena bergulirnya RUU Pertembakauan saat ini dinilai masih memiliki hubungan erat dengan upaya yang sempat dimunculkan lewat RUU Kebudayaan 2015 lalu. 

Maka itu Julius mengajak partisipasi agar publik pun mewaspadai kemungkinan permainan oknum-oknum tertentu yang menjadi wakil industri tertentu di legislatif. "Sebab industri rokok memiliki rencana yang sangat terukur untuk melakukan intervensi di parlemen sehubungan dengan RUU ini," katanya lagi, mengutip salah satu berita dari Tempo. "Maka, bukan tak mungkin industri juga melakukan hal yang sama pada pembahasan di level kementerian untuk mengintervensi pembahasan dan hasil keputusan mereka."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun