Begitulah sebagian wajah realita kita, dari persoalan yang sekilas tampak sederhana; tembakau dan rokok.
Belum lagi jika berbicara lebih jauh. Simak saja data dari Badan Litbang Kemenkes RI tahun 2013. Di sana akan terpampang kalkulasi pengeluaran negara yang diakibatkan oleh keberadaan industri rokok. Cukai rokok tidak sebanding dengan biaya dampak kesehatan yang harus ditanggung negara.
Selama ini kita terlalu dibius bahwa cukai rokok akan menjadi pemasukan negara, namun menutup mata atas pengeluaran negara untuk menjawab masalah dari kehadiran rokok  itu sendiri. Sedangkan pengeluaran negara itu sendiri, adalah pengeluaran kita sendiri juga sebagai rakyat; yang menyumbang kepada negara lewat cukai rokok dan pajak-pajak lainnya.
Ada yang selama ini luput kita gubris adalah belanja rokok kita sebagai masyarakat selama ini setara dengan 235,4 triliun, sedangkan biaya rawat jalan dan inap itu mencapai angka 378,7 triliun. Menjadi perbandingan sangat jelas, bagaimana efek dari dunia pertembakauan yang sedang menjadi bola yang kian bergulir ke mana-mana.
"Sebab (di tengah fenomena ini) yang dibutuhkan adalah keberpihakan pemerintah kepada masyarakat," kata Prof. Hasbullah, Senin lalu. "Jika sekadar untuk mendapatkan cukai dari peningkatan produksi dan penjualan, pemerintah harus berhitung baik-baik bagaimana efeknya di masa depan."
Hasbullah mencemaskan jika RUU Pertembakauan itu sampai disetujui oleh Presiden, maka itu akan menjadi fakta sejarah menyedihkan sekaligus akan sangat merugikan.
Tapi, Presiden Jokowi memang sempat menunjukkan sebuah sikap lewat pidato pada Rapat Kerja Nasional Kesehatan 2017, berupa pesan bahwa rakyat Indonesia harus mementingkan gizi anak-anaknya demi masa depan. Maka itu Hasbullah menyarankan, agar kementarian yang saat ini sedang membahas RUU tersebut secara tertutup agar bersepakat mendukung cita-cita presiden tersebut. "Tapi jika Presiden menyetujui RUU Pertembakauan, maka beliau sama saja mengingkari Nawa Cita yang ia gagas sendiri," Hasbullah menambahkan.
Hasbullah berterus terang tidak percaya jika industri rokok betul-betul peduli pada nasib petani dan Indonesia sendiri. "Industri rokok ini sudah dikuasai asing. Philips Morris yang beli Sampoerna tahun kemarin itu untung bersih lebih dari Rp 10 triliun. Uang (hasil dari sini) dibawa keluar. Belum lagi BAT (British American Tobacco), Japan Tobacco Internasional," Hasbullah memaparkan lebih jauh.
Tak ketinggalan pakar ekonomi, Faisal Basri, menunjukkan isyarat cemas dengan berbagai kemungkinan di tengah bergulirnya upaya sekelompok kalangan untuk mengegolkan RUU Pertembakauan. Jadi, dia menyarankan agar kementerian manapun yang memiliki kaitan dengan itu untuk lebih berhati-hati.
"Setiap kementerian harus berhati-hati mengambil keputusan dan memberikan rekomendasi kepada Presiden," kata Faisal, menjelaskan. "Terlebih lagi Kementerian Pertanian yang terkait langsung dengan RUU Pertembakauan. Misalnya, soal batasan impor, apakah itu memang memungkinkan? Apakah itu hanya kamuflase RUU ini agar disetujui supaya terkesan melindungi petani tembakau?"