[caption caption="Antasari takkan tinggal diam meski ia tak menyimpan dendam - Gbr: zonariau. com "][/caption]Tanggal 14 Februari 2014 pantas disebut hari yang suram bagi Susilo Bambang Yudhoyono. Sebab di layar TV yang cerah, sosok Antasari Azhar muncul, melepaskan sebuah peluru yang tepat tertuju ke kening mantan presiden tersebut.
Ya, Antasari menggelar jumpa pers, membuat sebuah pengakuan singkat. Ia berbicara dengan suara datar. Tapi cukup berisi, bahwa Cikeas (baca: SBY) pernah menitahkan agar Antasari saat menjabat sebagai Ketua KPK membebaskan kerabat presiden yang pernah bertahta hingga 10 tahun.
Ini bukan kabar baik bagi SBY.
Bukan rahasia jika sejak menjabat sebagai presiden, SBY nyaris tak putus dirundung persoalan. Lazimnya persoalan itu memang lahir dari lingkaran terdekatnya, dan nyaris semua berubah nasib. Mereka berganti status dari "kalangan dekat penguasa" berubah status sebagai pencuri uang negara.
Hebatnya, saat sederet kalangan dekatnya yang biasa mengenakan jas mewah, satu persatu berganti kostum dengan baju tahanan, SBY masih terlihat bersih.
Bahkan karena begitu yakin bahwa dirinya bersih, SBY lewat Agus Yudhoyono kembali membawa warna. Anaknya ini hanya berlaga di Pilkada Jakarta, tapi turut membuat satu negara ikut gaduh. Terutama dengan permainan isu demi isu. Terlepas isu-isu yang dilempar lewat berbagai tangan itu belum pasti dari mereka, tapi pernyataan Agus dan SBY sendiri turut membantu isu-isu itu seperti bola salju yang kian kencang bergulir.
Selayaknya bola salju, makin jauh bergulir maka makin membesar. Sayangnya, bola ini justru menghantam dirinya sendiri.
Banyak masyarakat DKI kecewa dengan sikap SBY menjelang Pilkada 2017 ini. Terutama di hampir setiap kali dia tampil, alih-alih membuat pernyataan selayaknya orang yang pernah memimpin di depan rakyat yang pernah dia pimpin; ia mengenakan jubah serupa dengan jubah masyarakat mayoritas, tapi melupakan empati pada masyarakat minoritas.
Sekarang, pementasan yang dimainkan SBY tidaklah berujung aplaus kecuali dari kalangan masyarakat dan pihak yang merasa "terbela" oleh pernyataan-pernyataannya. Yang ada ia kian terkapar dengan bola salju yang tadi membesar sendiri setelah dilemparnya, sengaja atau tidak sengaja.
Kaitan dengan Antasari? Ya Antasari jamak disepakati sebagai korban rezimnya. Tersingkir, tergilas, sendiri saja tak lama setelah figur berlatar belakang jaksa ini dinilai telah menantang Cikeas.
Bahkan, SBY tak pernah menjenguk Antasari ke penjara saat ia yang pernah bekerja melawan pencuri di negaranya, justru meringkuk kedinginan sendirian di dalam sel; jauh dari rumah, jauh dari keluarga, dan dianggap penjahat oleh sebagian masyarakat yang membaca berita seputar dirinya.
Tak ada kesempatan cukup luas bagi Antasari untuk membela dirinya. Ia sudah dibungkam dengan tuduhan yang menodai nama baiknya, mengencani seorang "caddy girl", dan dituding sebagai pembunuh suami perempuan tersebut.
Pukulan diterima Antasari terlalu berat. Saat ia sendiri saja, rezim saat itu mengeroyoknya lewat berbagai tangan. Antasari terkapar sendirian. Para pejabat negara yang terekam kuat di pikirannya yang pernah menjenguknya hanya Jusuf Kalla. Yang lain? Mungkin percaya dengan rezim saat itu.
Lalu sekarang, apakah Antasari sedang melakukan balas dendam setelah menghirup udara kebebasan karena rezim telah berganti?
Jika menyimak bahasa wajah, tak ada kesan dendam kecuali kekecewaan mendalam diperlihatkan sosok Antasari. Jika menyimak pernyataan demi pernyataannya selepas dari penjara, terlihat jelas tak ada kepentingan apa-apa dibawanya.
Ia lebih banyak berbicara tentang keluarga. Tentang istri yang tetap setia menjaga rumah dan kesetiaannya, hingga tentang anak-anaknya yang tumbuh dan mengejar impiannya selayaknya manusia. Ya, dengan kesan bangga dan bahagia selayaknya seorang ayah.
Di beberapa kesempatan wawancara dengan berbagai media pun Antasari tak terlihat menyinggung pihak manapun atau kubu politik apa pun.
Tapi, fakta bahwa ia berlatar belakang sebagai orang hukum, yang sudah membaca peta di lingkaran kekuasaan terutama ketika ia sendiri masih berstatus abdi negara. Ia mengenali permainan para pemain "topeng monyet" di era tersebut, tak terkecuali siapa-siapa yang terindikasi sebagai "pawang monyet", sedikitnya tentu teraba olehnya.
Di sinilah muncul perlawanan yang lebih didasarkan oleh kekecewaan tadi. Betapa, dia melihat begitu banyak tangan yang tetap terkesan begitu bersih dan halus, padahal di tangan-tangan itu terdapat telunjuk mana yang harus dilibas hingga digilas.
Dan, tangan-tangan rezim itu juga yang berebutan kue demi kue yang menjanjikan kemakmuran hingga ke anak cucu.
Jika ada kekecewaan terpancar dari wajah Antasari, saya yakini karena fenomena itu yang melekat dengan rezim yang pernah bertahan hingga 10 tahun, sebagai penyebabnya.
Jadi, bukan kekecewaan karena alasan pribadi. Sebab ia sendiri pun kerap mengakui jika dirinya memang tak merasakan dendam kepada siapa pun, kecuali bahagia karena bisa kembali bersama keluarganya.
Tapi kekecewaan itu juga yang ditakuti Cikeas. Sebab, dengan posisi Antasari sebelum "dikubur" dalam penjara, ia terbilang paling tahu peta permainan mereka yang menjadikan kekuasaan sebagai jembatan mengeruk uang negara.
Masih ingat George Aditjondro? Betapa selama ini upaya penelusuran sengkarut di seputar lingkaran Cikeas yang direkam dalam buku bertajuk "Gurita Cikeas" oleh peneliti tersebut, seperti memukul angin. Tak ada tindak lanjut, dan buku itu disetarakan dengan buku stensilan.
Padahal, jika melihat objektif lagi, sekelas Aditjondro nyaris mustahil membuang waktunya sebagai intelektual dan peneliti hanya untuk membuat buku yang asal-asalan.
Yang jelas, buku yang pernah dirilis Aditjondro dan keberadaan Antasari yang kembali menemukan kebebasannya, akan semakin melengkapi kegelisahan SBY yang selama ini hanya dapat diadukannya di jejaring sosial.
Di sisi lain, dua hal itu juga--petunjuk Aditjondro dan sosok Antasari--bisa menjadi amunisi bagi rezim saat ini. Bukan untuk senjata perang saling melibas karena perbedaan jalan politik, tapi untuk menunjukkan bahwa pemerintahan terkini memang serius menegakkan hukum.
Di sini, Antasari saya yakini akan menghibahkan dirinya untuk membantu. Tanpa dendam, hanya keinginan membantu negaranya, memberangus penjahat yang kerap mengenakan topeng nabi di tengah kerumunan orang-orang suci.*
(Note: artikel ini juga tayang di blog pribadi: www.tularin.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H