Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Dari Yahoo 360 hingga Kompasiana yang Menembus Mancanegara

7 Januari 2017   00:01 Diperbarui: 8 Januari 2017   15:41 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat Pendiri Kompasiana, Pepih Nugraha, bersama presiden Republik Indonesia menunjukkan kuku media yang kini mengusung slogan Beyond Blogging - Gbr: FB Pepih

Ninok Leksono, salah satu "Embah"-nya para wartawan Kompas pernah mencatat tentang kebanggaan seorang Menteri Riset dan Teknologi Indonesia, Kusmayanto Kadiman (yang juga pernah menjadi Kompasianer aktif); "Ia membeli beberapa potong baju khas Hawaii, dan ia perlihatkan dengan bangga ke penjaga toko, bahwa baju-baju tersebut buatan Indonesia". Itu dicatat di artikel 18 September 2008, Dibutuhkan Techno Ideology, di Kompasiana

Tunggu dulu. Itu cara mereka merekam Indonesia dan bagaimana mereka menunjukkan cinta pada negeri ini. Saya bercerita dulu lewat pengalaman pribadi.

Saya ingin bercerita dulu tentang dua "rumah lama" tempat saya menumpahkan segala hal yang berkelebat di kepala, untuk menulis, adalah Yahoo 360 dan Multiply

Sekarang, kedua situs tersebut yang menjadi tempat awal-awal saya menjajal aktivitas ngeblog itu sudah tinggal nama.

Terutama Yahoo 360 terbilang paling bersejarah bagi saya pribadi. Sebab saat saya masih mencari-cari apa sih blogging itu, kok di media-media luar negeri begitu populer aktivitas itu? Itulah yang membuat saya bertemu blog di bawah Yahoo itu.

Sekilas tentang media tersebut, Yahoo 360 itu sudah ada sejak 2005. Mereka pun getol juga mencari-cari cara bagaimana menyelaraskan diri dengan perkembangan zaman. Tak heran jika di sana, selain bisa ngeblog, juga disediakan berbagai layanan lain seperti tempat khusus untuk berbagai foto. Tapi per 2008, mereka lenyap entah ke mana, seperti lenyapnya ingatan apa saja yang sudah saya tulis di sana.

Kalaupun ada yang masih membekas di otak saya dari apa yang pernah saya tuangkan di blog di bawah Yahoo itu, hanya cerita-cerita kecil seputar perjalanan pribadi. Jika tidak, ya sekadar mengumbar kata-kata agak sok puitis, efek kegandrungan kepada Jalaluddin Rumi, Kahlil Gibran, Sapardi Djoko Damono, hingga W.S Rendra. 

Apa yang saya dapatkan di sana, atau mungkin juga pengguna lainnya adalah "rumah". Hanya tempat, untuk sekadar bernaung, berdiam, merenung, dan apa saja yang disukai. Potensi untuk berkomunikasi atau berinteraksi, nyaris tak ada--kecuali menggunakan Yahoo Messenger.

Soal seperti apa kritikan pedas atau kritikan yang betul-betul konstruktif, tak dapat dirasakan di sana. Kenapa? Karena tak ada sesuatu yang bisa membuat satu penulis dengan penulis lain leluasa berinteraksi.Tidak ada hal yang mampu membuat seorang blogger lebih terikat dengan blogger lainnya. Hingga yang terasa adalah kita jadi seperti pemilik rumah mewah bertaraf internasional, tapi kesepian.

Padahal pihak Yahoo bukan tanpa terobosan dalam menjaga media milik mereka itu. Mereka menyajikan template yang bisa di-custom, bisa memantau aktivitas siapa saja yang menjadi kontak, disediakan berbagai grup (tapi saya merasakannya tanpa roh), feeds, dan berbagai hal lainnya. 

Itu yang membuat para pengguna pun banyak ngacir ke Multiply, Blogspot, Wordpress. Itupun Multiply belakangan juga "bungkus barang" dan hilang dari peredaran. Blogspot dan Wordpress terbilang masih kuat hingga kini. Tapi di dua tempat tersebut pun, ada hal yang kurang; untuk mampu menciptakannya menjadi rumah yang nyaman, dan leluasa berinteraksi, butuh tenaga lebih ekstra.

Banyak, memang, yang lewat Blogspot saja atau Wordpress saja, mendapatkan berbagai hal yang menjadi impian mereka; entah karier, mengasah kemampuan menulis, atau lain-lainnya. Tapi di sana, setidaknya berdasarkan beberapa testimoni teman-teman saya, tak jauh dari cerita Yahoo 360. Di sana ada rumah sangat besar dan lagi-lagi berkelas dunia, tapi bisa menjadi sepi.

Rudi alias Cech Gentong bertemu Menteri Susi justru di Fiji - Gbr: Cech Gentong
Rudi alias Cech Gentong bertemu Menteri Susi justru di Fiji - Gbr: Cech Gentong
Bagaimana dengan Kompasiana?

Media ini "terlalu Indonesia", setidaknya itulah kesan sekilas yang mencuat, terutama karena memang sebagian besar penulis di sini adalah orang-orang Indonesia sendiri. Tapi juga tidak berlebihan jika disebut sebagai situs Citizen Journalism yang mendunia. 

Mendunia itu tentu saja tak selalu harus mensyaratkan bahwa penulis di sini harus ada dari India hingga Ethiopia, atau dari Merauke sampai dengan Zimbabwe. Melainkan karena orang-orang Indonesia yang ada di media ini pun berada di berbagai negara.

Lihat bagaimana Gaganawati Stegman (Gana) bisa mengawinkan ke-Indonesia-an dengan budaya Jerman, hingga ia menuliskan beberapa buku. Dia bisa membawa manfaat untuk Jerman yang kini menjadi negara tempat ia tinggal, dan Indonesia yang masih jadi tanah airnya. Ia mengenalkan tarian-tarian Indonesia di Jerman, dan dia dapat bercerita atas apa yang dilakukannya di sana tanpa menanggalkan atau meninggalkan ke-Indonesia-an yang menjadi rohnya.

Lewat Kompasiana, Gaganawati berusaha menyampaikan berbagai pengamatannya di Jerman, dengan jumlah artikel yang telah melampaui 1.000 di media ini. Sementara pembacanya secara total melampaui 1 juta, tentunya bukan angka sederhana.

Gana yang baru bergabung 30 April 2011 di Kompasiana, bahkan menyalip saya sendiri yang telah menulis di sini sejak 2009. Pasalnya, saya baru menulis 800-an artikel, jauh di bawah dirinya.

Mirip dengan Gana, Gitanyali Ratitia, menjadi perempuan Indonesia lainnya yang menumpahkan gairah ke-Indonesia-annya di Kompasiana. Penggemar musik Jazz dan pengagum Marylin Monroe ini memang telah malang melintang di berbagai negara luar, dari Singapura hingga Jerman. Kompasiana bagi Gita menjadi saluran penting untuk tetap mendekatkannya dengan Indonesia. 

Di luar negeri, dia pun tak tinggal diam untuk mengenalkan budaya yang dimiliki negeri asalnya. Di Jerman, dia bahkan membuat tempat SPA yang lagi-lagi dikreasikannya agar tetap bernuansa Indonesia, dan diberi nama Java SPA. Dia pun memiliki pengaruh lewat organisasi Jaringan Pendamping Kebijakan Pemerintah, dan dirinya menjadi ketua di organisasi tersebut, di Eropa.

Gana yang aktif membicarakan Indonesia dan Jerman hingga melahirkan banyak buku - Gbr: Gaganawati Stegmann
Gana yang aktif membicarakan Indonesia dan Jerman hingga melahirkan banyak buku - Gbr: Gaganawati Stegmann
Lainnya, Tjiptadinata Effendi, menjadi nama wajib dan tak dapat dipisahkan dari Kompasiana. Saya pribadi tiap kali "berkampanye" tentang Kompasiana kepada komunitas-komunitas kecil yang akrab dengan saya, nama sosok tersebut nyaris tak pernah saya lupakan sebagai referensi. 

Pak Tjip--sapaan akrabnya--kini memang telah berusia 73 tahun. Bergabung di Kompasiana dua tahun setelah saya, namun artikel beliau di sini--saat artikel ini saya tulis--nyaris menyentuh 2,5 ribu artikel. Dengan usia terbilang sepuh, tenaga terbilang berada di bawah anak muda, namun beliau masih "sangat perkasa" dalam menulis di sini.

Menulis artikel sebanyak yang ditulis Pak Tjip dan tidak dibayar! Ini tentu saja sesuatu yang hanya terjadi ketika seseorang itu memiliki cinta yang luar biasa. Kompasiana membuat jatuh cinta, maka itu gelar Kompasianer of the Year pada 2014 yang jatuh kepadanya tak lantas membuatnya puas dan memilih mundur. Ia masih terus berbagi pengalaman, dari saat dirinya menghabiskan masa muda di Indonesia (dari Sumatra Barat hingga belahan Indonesia lainnya) hingga beliau kini berada di Australia.

Bahkan, Pak Tjip bersedia merogoh kantong sendiri untuk menghadiri acara-acara penting diadakan Kompasiana semisal Kompasianival sebagai festival yang diadakan di akhir tahun, sekaligus momen bertemunya para Kompasianer dari berbagai belahan dunia. 

Erwin Rudiyanto pun tak ketinggalan. Figur yang bergabung di Kompasiana hampir bersamaan dengan saya itu pernah bertualang hingga ke Fiji. Di sana, artikel-artikel yang dituangkannya di Kompasiana mendapatkan apresiasi khusus dari pemerintah setempat, hingga mengundang respek sangat tinggi dari mereka kepadanya.

Ya, sepanjang dia berada di negara tersebut, Rudi yang acap disapa dengan Cech Gentong oleh sahabat-sahabatnya itu nyaris tak berhenti berbagai di Kompasiana. Dia mengenalkan Kompasiana ke negara itu, selain juga mengakrabkan masyarakat setempat dengan Indonesia.

Lewat laporannya dari Fiji, terlihat bagaimana Indonesia yang di dalam negeri acap diremehkan oleh penduduknya sendiri hanya karena perbedaan politik dan agama, di negara itu justru sangat dihormati. Termasuk, misalnya saat dia bercerita tentang kunjungan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, betapa masyarakat di negara begitu antusias dan bahkan bangga kedatangan tokoh Indonesia. 

Bagaimana tidak, dari laporan Rudi diketahui, pemerintah Fiji pun terkagum-kagum dengan berbagai kebijakan yang ada di Indonesia. Osea Naiqamu yang menjadi Menteri Perikanan dan Kehutanan Fiji mengundang Susi, Menteri RI itu, untuk berbicara di acara “Partnerships for Climate Resilient Green Blue Pacific Economies”. Kebijakan Indonesia menjadi referensi negara luar. Itu kebanggaan, dan itu hanya satu dari sederet tulisan Rudi.  

Junanto yang rajin membicarakan Jepang dan mengakrabnkan Indonesia dengan negara itu, tampil di depan presiden - Gbr: Junanto
Junanto yang rajin membicarakan Jepang dan mengakrabnkan Indonesia dengan negara itu, tampil di depan presiden - Gbr: Junanto
Tak ketinggalan dengan Junanto Herdiawan yang tak lain adalah Deputi Direktur di Departemen Komunikasi, Bank Indonesia. Jauh sebelum dia mengisi jabatan bergengsi di "bapak"-nya perbankan Indonesia itu, ia tercatat sebagai satu figur paling rajin berbagi cerita dari Jepang yang juga pernah menjadi tempat ia bekerja.

Ia sudah bergabung ke Kompasiana bahkan sejak 2008, setahun di atas saya. Artikelnya memang baru menembus angka 300-an (dari yang masih tersisa) dan terakhir menulis di Kompasiana pada November 2016. Soal produktivitas belakangan, dengan kesibukannya di lembaga perbankan sekelas Bank Indonesia, dapat dipahami. Setidaknya, saat di Jepang dia terkenal sangat rajin berbagi kabar ke Indonesia lewat Kompasiana. Dia mampu "mengawinkan" Jepang dan Indonesia lewat artikel-artikelnya, menyajikan informasi yang tak umum diulas dan dikupas media-media mainstream sekalipun.

Lagi, tak sedikit dari artikel-artikelnya yang belakangan menjadi buku dengan style penulisan renyah khas dia. Sebut saja seperti Orang Jepang Naik Haji, Flying Traveler, Shocking Japan, Shocking Korea, hingga Japan Aftershock.

Mereka hanya menjadi representasi dari puluhan ribu penulis Kompasiana, yang terikat dengan situs ber-platform  media warga, murni karena kecintaan yang mereka miliki untuk berbagi, tak hanya aktualisasi diri tapi juga menjadi sarana untuk membaktikan diri kepada negerinya terlepas mereka telah merambah berbagai negeri lainnya. Jadi, jika kini Kompasiana mengusung slogan "Beyond Blogging", alasannya tidak perlu penjabaran dengan seabrek teori, tapi memang bisa ditunjukkan bukti berupa figur-figur tersebut.

***

Dulu, seorang menteri menunjukkan kebanggaannya lewat karya anak negerinya yang dipasarkan di luar negeri. Kini, lewat Kompasiana, anak-anak negeri ini memperlihatkan kekuatan negaranya dalam bertarung dengan ribuan media dunia, tak lagi hanya lewat para jurnalis. Mereka bekerja lewat jalan para perekam sejarah lintas zaman, penulis! Mereka memasarkan cerita tentang negaranya hingga pemikiran yang tak lagi hanya terkungkung di ruang sempit kolom berjumlah terbatas di kertas-kertas koran. It's beyond blogging!*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun