Pak Tjip--sapaan akrabnya--kini memang telah berusia 73 tahun. Bergabung di Kompasiana dua tahun setelah saya, namun artikel beliau di sini--saat artikel ini saya tulis--nyaris menyentuh 2,5 ribu artikel. Dengan usia terbilang sepuh, tenaga terbilang berada di bawah anak muda, namun beliau masih "sangat perkasa" dalam menulis di sini.
Menulis artikel sebanyak yang ditulis Pak Tjip dan tidak dibayar! Ini tentu saja sesuatu yang hanya terjadi ketika seseorang itu memiliki cinta yang luar biasa. Kompasiana membuat jatuh cinta, maka itu gelar Kompasianer of the Year pada 2014 yang jatuh kepadanya tak lantas membuatnya puas dan memilih mundur. Ia masih terus berbagi pengalaman, dari saat dirinya menghabiskan masa muda di Indonesia (dari Sumatra Barat hingga belahan Indonesia lainnya) hingga beliau kini berada di Australia.
Bahkan, Pak Tjip bersedia merogoh kantong sendiri untuk menghadiri acara-acara penting diadakan Kompasiana semisal Kompasianival sebagai festival yang diadakan di akhir tahun, sekaligus momen bertemunya para Kompasianer dari berbagai belahan dunia.
Erwin Rudiyanto pun tak ketinggalan. Figur yang bergabung di Kompasiana hampir bersamaan dengan saya itu pernah bertualang hingga ke Fiji. Di sana, artikel-artikel yang dituangkannya di Kompasiana mendapatkan apresiasi khusus dari pemerintah setempat, hingga mengundang respek sangat tinggi dari mereka kepadanya.
Ya, sepanjang dia berada di negara tersebut, Rudi yang acap disapa dengan Cech Gentong oleh sahabat-sahabatnya itu nyaris tak berhenti berbagai di Kompasiana. Dia mengenalkan Kompasiana ke negara itu, selain juga mengakrabkan masyarakat setempat dengan Indonesia.
Lewat laporannya dari Fiji, terlihat bagaimana Indonesia yang di dalam negeri acap diremehkan oleh penduduknya sendiri hanya karena perbedaan politik dan agama, di negara itu justru sangat dihormati. Termasuk, misalnya saat dia bercerita tentang kunjungan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, betapa masyarakat di negara begitu antusias dan bahkan bangga kedatangan tokoh Indonesia.
Bagaimana tidak, dari laporan Rudi diketahui, pemerintah Fiji pun terkagum-kagum dengan berbagai kebijakan yang ada di Indonesia. Osea Naiqamu yang menjadi Menteri Perikanan dan Kehutanan Fiji mengundang Susi, Menteri RI itu, untuk berbicara di acara “Partnerships for Climate Resilient Green Blue Pacific Economies”. Kebijakan Indonesia menjadi referensi negara luar. Itu kebanggaan, dan itu hanya satu dari sederet tulisan Rudi.
Ia sudah bergabung ke Kompasiana bahkan sejak 2008, setahun di atas saya. Artikelnya memang baru menembus angka 300-an (dari yang masih tersisa) dan terakhir menulis di Kompasiana pada November 2016. Soal produktivitas belakangan, dengan kesibukannya di lembaga perbankan sekelas Bank Indonesia, dapat dipahami. Setidaknya, saat di Jepang dia terkenal sangat rajin berbagi kabar ke Indonesia lewat Kompasiana. Dia mampu "mengawinkan" Jepang dan Indonesia lewat artikel-artikelnya, menyajikan informasi yang tak umum diulas dan dikupas media-media mainstream sekalipun.
Lagi, tak sedikit dari artikel-artikelnya yang belakangan menjadi buku dengan style penulisan renyah khas dia. Sebut saja seperti Orang Jepang Naik Haji, Flying Traveler, Shocking Japan, Shocking Korea, hingga Japan Aftershock.
Mereka hanya menjadi representasi dari puluhan ribu penulis Kompasiana, yang terikat dengan situs ber-platform media warga, murni karena kecintaan yang mereka miliki untuk berbagi, tak hanya aktualisasi diri tapi juga menjadi sarana untuk membaktikan diri kepada negerinya terlepas mereka telah merambah berbagai negeri lainnya. Jadi, jika kini Kompasiana mengusung slogan "Beyond Blogging", alasannya tidak perlu penjabaran dengan seabrek teori, tapi memang bisa ditunjukkan bukti berupa figur-figur tersebut.