Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Kecil dari Orang Pasar

3 Januari 2017   02:26 Diperbarui: 3 Januari 2017   05:02 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu pasar di perkampungan Jakarta Selatan - Gbr: Zulfikar Akbar

Mereka tidak mengandalkan pengetahuan selayaknya sarjana. Jadi, kecerdasan mereka dalam kegiatan jual beli itu hanya diasah oleh pengalaman. 

Jangan ajak mereka melihat dunia pasar dari kacamata Adam Smith, atau siapa saja yang konon disebut pakar ekonomi dan sejenisnya. Mereka hanya melihat pasar dari pengalaman mereka sendiri; dari rugi, laba yang tipis dan tidak sepadan dengan waktu seharian mereka habiskan, hingga keterpaksaan mereka berutang pada tengkulak. 

Lebih dua puluh tahun lalu saya menyimak itu, dan saat kini sesekali menyambangi pasar di dekat rumah, lagi-lagi mendapati kejadian tak jauh mereka. Terkadang, saat nasib baik terlihat tak ramah kepada mereka, para tengkulak pun hanya ramah saat menawarkan pinjaman dengan bunga berkali lipat, menjadi dua ketidakramahan yang sangat menyiksa bagi mereka, tentunya. 

Acap kali, meski nasib baik tak selalu berbaik-baik dengan mereka, mereka memilih tetap bertahan. Menariknya, dari pasar-pasar itu juga mereka masih mampu menyekolahkan anaknya, dan tak sedikit menjadi sarjana hingga pejabat. 

Miniatur pasar di acara Festival Pasar Rakyat di Bentara Budaya Jakarta - Gbr: Zulfikar Akbar
Miniatur pasar di acara Festival Pasar Rakyat di Bentara Budaya Jakarta - Gbr: Zulfikar Akbar
Yah Tapa, panggilan yang dinisbatkan dari "Ayahnya si Mustafa", menjadi salah satu figur paling membekas di memori saya, dari pengalaman masa kecil di Jeuram, salah satu kampung di Pantai Barat Aceh.

Sosok Yah Tapa itu memilih tetap menggantungkan hidupnya di pasar sejak dia masih belum menikah hingga cucunya pun beranak. Istimewanya, anak-anak hingga cucunya itu seperti terwariskan untuk memahami dunia pasar, jual beli, dan jatuh cinta pada pasar. Ada beberapa dari keturunannya yang bahkan menjadi pegawai negeri pun, namun kegemaran pada dunia dagang itu tak lekang. 

Mereka tidak menguasai teori. Yah Tapa pun tak memahami istilah-istilah bergengsi di dunia pasar moderen. Yang dia pahami, memanfaatkan waktu sehari-hari mencari nafkah, makan sebagian kecil dari laba, dan berkonsentrasi membesarkan anak-anaknya. 

Apa yang kemudian terjadi, meski berkali-kali dia hampir gulung tikar, entah karena kehabisan modal, atau dagangan yang terkadang rugi, dia mampu bertahan lebih dari 50 tahun. Kecintaannya menghabiskan waktu di pasar, betul-betul melekat kuat di benak saya. Dia mengarahkan untuk menyekolahkan anak pertama setinggi-tingginya, karena anak kedua enggan bersekolah. 

Dia tak memaksa anak keduanya harus menyamai anak kedua, lantaran menurut dia, "Menyoe hana di hatee, sapue kon," (bahasa Aceh dengan terjemahan bebasnya; jika seseorang melakukan sesuatu bukan karena panggilan hati, tak ada gunanya--memaksakan).

Maka itu saat dua pekan lalu Kompasiana mengadakan Festival Pasar Rakyat di Bentara Budaya Jakarta, saya dengan antusias memboyong anak dan istri saya sendiri ke sana. Meskipun saya sama sekali tidak bercerita, bahwa saya sendiri pernah jadi bagian dunia jual beli yang identik dengan masyarakat biasa. Juga belum pernah saya ceritakan, saya merasakan langsung dalam keseharian, bagaimana pasar itu menjadi sesuatu yang betul-betul mampu memberikan sesuatu yang takkan mudah ditemukan di pasar moderen.

Mencegat Garin Nugroho di acara Festival Pasar Rakyat - Gbr: Zulfikar Akbar
Mencegat Garin Nugroho di acara Festival Pasar Rakyat - Gbr: Zulfikar Akbar
"Di pasar rakyat, antara para pedagang dengan pembeli bisa saling mengenal dan menyapa dengan menyebut nama. Di sana terbangun keakraban, dan ini yang takkan dapat ditemukan di pasar moderen," Garin Nugroho yang mengisi acara Festival Pasar Rakyat saat itu, berkisah, sekaligus melemparkan saya ke memori masa kecil itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun