Ketika berbicara tentang pasar rakyat, ingatan saya terbawa ke masa yang melampaui dua dekade lalu. Ya, saat saya sendiri menjadi bagian utuh dari pasar tersebut; bercelana pendek, mengenakan baju terlusuh dari yang saya punya, dan bergelut dengan berbagai karakter orang dewasa.Â
Saat itu saya masih remaja yang dapat dikatakan anak-anak, karena masih berusia belasan tahun. Di luar jam sekolah, memilih melupakan istirahat, dan berlari ke pasar yang berada sekitar 300 meter dari rumah.
Di sana saya melakoni apa saja yang bisa saya jalani selayaknya seorang remaja. Berdagang labu, rokok, sayur-sayuran, hingga ikan. Dan, bagaimana bau anyir ikan terasa masih melekat hingga kini, terutama ikan yang selama beberapa hari tak kunjung terjual habis.Â
Semua itu saya lakoni cuma karena alasan sederhana saja, merasa lebih keren dibandingkan teman-teman sekolah saya yang meminta uang jajan dari orangtuanya, sementara saya mendapatkan dari keringat sendiri.Â
Alasan terlalu polos, mungkin, tapi begitulah adanya. Walaupun, iya, ada juga alasan lain yang acap bikin hidung saya kembang kempis diam-diam, saat di sekolah mendapatkan peringkat teratas, orangtua anak-anak lain seperti iri, "Itu anak, kok bisa jadi juara kelas, padahal sehari-hari dia ada di pasar ikan?"
Maka itu, jika melewati pasar tradisional di mana saja saat saya dewasa, saya acap merasa sedang memasuki masa kecil. Dari aroma ikan, mana yang baru datang dari pengepul, atau sudah beberapa hari tak laku, teraba oleh indra penciuman saya tanpa perlu menyentuhnya. Atau, mana sayur yang memang betul-betul baru, dan mana sayur yang sedang "dipaksa" agar terlihat baru.
Ada yang lebih penting lagi, wajah-wajah dari para pedagang kecil yang notabene memadati pasar-pasar itu. Seberapa banyak dagangan mereka laku hari itu, tak perlu ditanyakan lagi. Cukup dengan menyimak garis wajah mereka. Setenang apa pun karakter mereka, jika dagangannya laku keras pastilah binar ceria itu akan terlihat dari matanya meski wajahnya terlihat berusaha menyembunyikan kebahagiaannya.Â
Sementara lainnya, terkadang terpaksa membagi-bagikan sayuran yang sudah dua hari tak kunjung habis. Atau, bagi yang menjajakan makanan, yang juga ada di pasar-pasar itu, membagikan begitu saja kepada anak-anak tetangga sepulang mereka dari pasar.Â
Alasan mereka, "Daripada basi mubazir, lebih baik dimakan," dan ada juga alasan lain, kali saja dengan membagi ini besok dagangannya lebih laris. Dan, saya lagi-lagi termasuk di antara yang turut mencicipi kue-kue atau penganan apa saja yang memang sedang tidak laku, milik tetangga lapak saya.Â
Satu hal lagi yang saya simak masih melekat erat dengan orang-orang pasar itu, bahwa sebagian besar di antara mereka memang hanya bermodalkan tulis baca, ada yang bahkan sama sekali tak bisa tulis baca, namun hafal angka.Â