Ada hal ironis terpampang belakangan sejak peluncuran uang baru oleh Bank Indonesia. Berbagai gonjang-ganjing muncul hingga menjurus ke penghinaan atas para pahlawan yang dicantumkan di lembaran-lembaran uang tersebut. Cut Meutia dari Aceh dan Frans Kaisiepo dari Papua menjadi dua sasaran paling tragis dari anak-anak negerinya, dari yang berstatus dosen hingga masyarakat awam.
Yang dosen bernama Dwi Estiningsih, belakangan diketahui sebagai kader salah satu partai berbasis agama, menjadi salah satu paling menghebohkan. Pasalnya, dia sendiri mengeluarkan kalimat via jejaring sosial yang menjurus pelecehan kepada Cut Meutia yang tak berkerudung seperti dikenakan olehnya.Â
Menurutnya, Cut Meutia tak pantas disebut orang yang memahami agama karena tidak berhijab se-ideal dirinya.
Sementara lainnya, tak kurang tragis yang menimpa Kaisiepo, pahlawan dari Papua dan pernah menjabat sebagai gubernur di provinsi terujung Indonesia tersebut.
Tapi, itulah yang terjadi hari ini. Kemudahan mengakses media sosial, tampaknya justru membuat anak-anak negerinya kesulitan meraba nurani sendiri, sehingga penghinaan itu pun dianggap hal wajar.
Terlebih lagi, aparat hukum pun terlihat sangsi menghukum mereka yang telah melecehkan para pejuang Indonesia tersebut. Estiningsih berstatus sebagai ibu yang masih memiliki anak yang terbilang bayi. Sedangkan pelaku lainnya, berseliweran dengan leluasa karena tak sedikit juga yang memang menggunakan akun palsu.
Meutia terbilang masih banyak yang membela. Itu terbukti dengan hujan bully-an yang justru tertuju kepada Estiningsih yang merupakan kader Partai Keadilan Sejahtera (catatan: PKS semestinya memberikan tindakan tegas jika memiliki iktikad menghormati negara).
Beda halnya dengan Kaisiepo, dalam kasus lain yang terdapat kemiripan dengan yang dilakukan Estiningsih. Sekalipun banyak yang membela, namun jumlah mereka yang melecehkannya pun tak sedikit dan itu dapat dengan mudah ditelusuri di Facebook dan Twitter.
Pelecehan yang dilakukan terbilang sudah berada di titik yang layak disebut biadab; dari yang mengaitkannya dengan teori evolusi Darwin, hingga yang mengaitkannya sebagai moyang salah satu calon gubernur di DKI Jakarta.
Sayangnya respons dari aparat kepolisian sebagai penegak hukum dalam kasus ini terkesan terlalu hati-hati dan lambat. Di saat pelecehan kian merebak, tindakan hukum belum ada yang terlihat cukup tegas, setidaknya sebagai shock therapy untuk tidak menjadikan pahlawan sebagai guyonan atau sasaran pelecehan.
Akhirnya, sebagai bagian masyarakat yang merasakan kesedihan hebat atas penghinaan itu, hanya dapat menunggu; apa yang akan dilakukan aparat kepolisian dan bagaimana mereka membuat para penghina pahlawan itu terbuka mata untuk melihat apa yang sesungguhnya sudah mereka lakukan, atas negeri ini dan atas para pahlawan yang telah menyumbang nyawa untuk lahirnya Indonesia.* (Dikutip ulang dari situs pribadi:Â www.tularin.com)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI