Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rekaman Wajah Pendidikan di Ujung Sumatra

25 Mei 2016   01:29 Diperbarui: 25 Mei 2016   09:32 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Kasikula hai neuek, jeuet gata bek dipeungeut lee gop." Itulah kalimat yang kerap meluncur di mulut-mulut orangtua di Aceh. Jika diterjemahkan dengan sederhana kira-kira berarti, sekolahlah kau nak, agar kelak kau tidak ditipu orang.

Ya, itulah yang kerap diungkapkan orangtua di ujung Sumatra kepada anak-anak mereka. Menjadi kalimat motivasi, meski sekilas terkesan tidak se-wah

yang meluncur dari para motivator. Tapi kalimat itu juga yang menggerakkan banyak anak, sehingga yang bertempat tinggal di perkampungan terpencil

pun tergerak untuk bersekolah.

Jangan bayangkan ada banyak sekolah berfasilitas luar biasa di sana. Sebab, itu hanya ada di kota-kota, setidaknya setingkat kabupaten. Sedangkan untuk

level kecamatan dan di bawahnya, kondisi sekolah mengikuti strata lokasi tempat mereka tinggal.

Di Aceh, jika berkenan memasuki desa demi desa yang tersebar dari Banda Aceh hingga Singkil, atau Lhokseumawe hingga Nagan Raya, akan terketemukan sangat banyak sekolah yang terkesan seadanya, namun para siswa rela ke sekolah dengan gairah meluap-luap.

Apakah itu hanya sekadar isapan jempol belaka? Bisa dipastikan, sama sekali bukan. Anak-anak di sana, tak sedikit yang berjalan kaki hingga berkilo-kilometer menuju sekolah dan menempuh jalan yang sama saat pulang. Sekilas melelahkan, namun tapi keringat dari kelelahan itu tak lantas melunturkan semangat mereka, dan tidak menghapuskan keceriaan mereka.

Mereka lelah, karena dalam usia belia, dengan tulang kaki belum sepenuhnya kokoh, harus menempuh jalanan yang tidak singkat. Tak sedikit dari mereka yang justru harus berenang karena ada juga yang mesti melewati sungai yang belum terdapat jembatan yang bisa membantu mereka menyeberang. Atau, ada juga yang dengan lincahnya mengayuh sampan alias perahu kecil yang hanya bisa diisi empat hingga lima orang. Mereka mengayuhnya sendiri.

Keterbatasan itu tak menjadi alasan bagi mereka untuk meratapi keadaan. Kondisi terbatas itu justru mengajarkan mereka bahwa mereka harus bisa menaklukkan impian yang tak terbatas. Itu juga yang menguatkan anak-anak itu, sehingga saat pulang dari sekolah dalam kondisi lelah, mereka masih mampu memikirkan bagaimana agar orangtua mereka yang sebagian berada di sawah tak terlalu lelah. Ya, akhirnya mereka pun, setelah beristirahat sejenak, masih menyempatkan untuk turun ke sawah. 

Atau jika tidak, mereka mengerjakan aktivitas lain semisal meurabee (istilah untuk menyebut aktivitas sebagai gembala). Bukan hanya kambing yang notabene bertubuh kecil, tapi anak-anak itu juga mampu menggembala kerbau yang tentu saja berukuran berkali lipat dibandingkan tubuh mereka sendiri.

Takjub. Itulah saat saya bisa berada di salah satu dusun yang benar-benar terpencil di Aceh, beberapa tahun lalu. Untuk menuju dusun tersebut, sama sekali tak bisa menggunakan transportasi roda dua alih-alih roda empat. Untuk keluar dan masuk ke desa itu hanya ada perahu dan rakit. Tapi justru di desa itu pernah lahir seorang tokoh Aceh, Aminullah Usman.

Siapa sosok tersebut? Bagi yang akrab dengan dunia perbankan dalam negeri, takkan asing dengan nama Bank Aceh, dan sosok Aminullah adalah salah satu figur yang membesarkan nama bank tersebut.  

Siapa nyana jika seorang anak yang lahir di sebuah desa terpencil dan dikitari sungai, dan untuk ke sekolah saja harus melawan segala risiko sejak kecil, akhirnya menjadi salah satu figur menentukan dan tak hanya mengharumkan nama dusunnya di Kecamatan Woyla, Aceh Barat, tapi juga mengangkat reputasi daerahnya, terutama di sektor perbankan. Belakangan, ia bahkan menjadi salah satu nama yang diusung untuk mengisi posisi eksekutif di pemerintahan kota Banda Aceh.

Saya sempat lama tercenung saat berdiri di sisi sungai di desa tersebut. Dikitari hutan yang masih lebat--ini sudah melewati tahun 2000---membuat saya membayangkan, bagaimana sulitnya sosok tersebut saat harus menaklukkan alam di desanya di era 1970-an. Tak terbayangkan.

Aminullah adalah satu dari sekian banyak anak-anak Aceh yang lahir dan bergumul dengan kehidupan desa dan keterbatasan lingkungannya. Tapi ia memilih melawan keterbatasan itu, mendobraknya, dan terus berlari ke arah mimpinya.

Ia mewakili ribuan anak-anak Aceh lainnya yang hingga kini tak sedikit berangkat dari desa-desa, untuk dapat bersekolah, dan membayangkan bisa menjadi sesuatu yang berbeda dari kebanyakan pendahulunya.

"Adak lon sosah, neuek, di gata bek sampe lagee lon," itu menjadi petuah lainnya yang juga kerap meluncur dari lidah orangtua di Aceh. Jika dialihbahasakan, kira-kira bermakna, Nak, jika kaumelihatku sebagai orangtuamu susah, yang harus kau pikirkan adalah bagaimana kau sendiri tak sampai mengulangi kesusahan seperti kualami. Kau harus lebih baik.

Maka itu, dari mulut banyak anak-anak Aceh, akan dengan gampang menemukan pembuka obrolan berisi kalimat, "lagee geupeugah lee ureueng syik lon..." yang merujuk pada pesan-pesan yang kerap diutarakan orangtua mereka.

Ya, tak ada filsafat terlalu dalam yang bisa meluncur dari sebagian besar orangtua, terutama di dusun-dusun terpencil di provinsi yang berada di ujung Sumatra tersebut. Mereka hanya memiliki untaian petuah dengan kalimat sederhana, dan diungkapkan saat anak-anak mereka masih dalam ayunan. "Aneuk lon sayang, neupateh ayah ngon mak, mita ileumee sampee beu manyang-manyang... ibarat sibak bak kayee, meuboeh na memfaat, jeut ke faedah geutanyoe manusia," (Anakku, taatilah kedua orangtuamu, tuntutlah ilmu setinggi-tingginya. Seperti pohon, jika berbuah pasti akan memberikan manfaat bagi kita manusia).

Ya, lewat syair-syair dengan nada yang acap kali sederhana dan seadanya, dilantunkan sambil meninabobokan anak dalam ayunan, justru membuat banyak anak-anak Aceh mengingatnya hingga mereka dewasa dan menua. Begitulah sepanjang zaman, masyarakat Aceh mewariskan petuah-petuah untuk diingat anak-anak mereka. Tak terkecuali saya sendiri, yang kerap memilih meninabobokan Shadia, putri satu-satunya yang baru menjelang usia satu tahun, dengan nyanyian yang diwariskan kakeknya. Berharap, gadis kecil ini pun kelak merekam pesan-pesan untuk berani berdiri di depan mimpi dan kemudian mengejar hingga berhasil menaklukkan impian itu.* Zulfikar Akbar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun