Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Saat Marshanda Menelanjangi Kita

29 Maret 2016   17:36 Diperbarui: 22 Desember 2016   19:58 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang lebih peduli pada simbol, karena simbol yang relatif hanya sebagai aksesoris dirasa lebih menarik. Saat simbol itu ditanggalkan, tak ada lagi yang memukau, maka kemudian itu dirasa sebagai alasan kuat untuk lagi-lagi menghakimi. Ingat, bagaimana artis tersebut menuai cibiran hingga cacian ketika ia meninggalkan kerudung, karena alasan dirinya ingin menjadi diri sendiri, tak ingin hidup berdasarkan keinginan banyak orang, dan menegaskan diri bahwa kehidupannya adalah tanggung jawabnya.

Orang-orang tidak menerima. Orang-orang merasa berhak menghujat dan menghakimi. Mereka lupa bertanya, saya siapa? Sehelai kain yang menjadi aksesoris pun dinilai jauh lebih berharga dari manusia. Secara tak sengaja, mereka memuja kain yang masih bisa diukur harganya berapa, dan menista manusia yang sejatinya jauh lebih berharga. Begitu juga di depan fenomena terkini,  ketika Marshanda muncul lagi dengan kehebohan pengakuannya yang blakblakan. Hakim-hakim dadakan pun lagi-lagi bermunculan.

Entah sejauh mana kita mengetahui ada apa di tengah keluarganya, dan peristiwa apa saja yang sudah mereka jalani, lalu keluarganya pun dihakimi. Kita merasa bukan sebuah dosa, membiarkan praduga leluasa bekerja, menguasai pikiran kita.

Sudahlah. Kenapa kita harus menilai Marshanda sebagai produk dari sebuah kegagalan dalam sebuah keluarga, ketika kita sendiri pun gagal membimbing pikiran dan perasaan kita sendiri untuk adil di depan persoalan yang sebenarnya kita tidak tahu apa-apa. Kenapa kita harus repot-repot mencari-cari apa yang salah dari kehidupannya, ketika kehidupan kita sendiri tak seluruhnya berjalan dengan benar.

***

Kita buka mata saja, bukan untuk mencari-cari apa saja kesalahan Marshanda dan ayahnya. Kita buka mata untuk melihat diri sendiri, sejernih-jernihnya, untuk menemukan kesalahan dan kekurangan sendiri, misalnya, kenapa kita gagal menemukan kebaikan yang sebenarnya luar biasa dari seorang anak yang merindukan ayahnya dan menerimanya apa adanya ketika bersua.

Jika untuk membuka mata begini pun kita belum bisa, bagaimana kita bisa begitu yakin takkan mengalami seperti apa yang kini dialami Marshanda dan ayahnya.

Hemat saya pribadi, apa yang kali ini ditampilkan selebriti satu ini bukanlah sesuatu yang sederhana. Ada kematangan jiwa dan spiritual di dalam dirinya. Tanpa itu, ia mungkin akan jauh lebih peduli pada bagaimana menjaga namanya dan mengawetkan popularitasnya.

Jika pilihan Marshanda dengan pengakuannya yang apa adanya itu sebagai pertaruhan, maka ini adalah pertaruhan terbaik. Ada bayaran yang pasti akan didapatkan olehnya, melebihi dari royalti atau pendapatan dari mana saja yang pernah didapatkannya selama ini.

Walaupun, iya, bagi dia pribadi, jika menyimak dari berbagai tulisan kecilnya di media sosial, bayaran terbaik itu sudah didapatinya, dan itu adalah bertemu dengan ayahnya sendiri.

Ini penghormatan sekaligus cinta yang bisa dikatakan sempurna dari seorang anak kepada orangtuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun