[caption caption="Gbr: konfrontasi.com"][/caption]Ada rasa ingin tertawa sekaligus ingin menangis setiap mendengar kata "Pribumi" dan "Nonpribumi". Sebab, kata yang menunjukkan bentuk sikap dikotomi itu begitu langgeng, dari Belanda masih perkasa hingga harus menelan "obat kuat" (agar tetap perkasa?). Maksud saya, hingga hari ini pun kata itu masih menjadi pilihan banyak orang yang merasa "lebih Indonesia" dibandingkan pemilik KTP Indonesia lainnya.
Belakangan, dikotomi pribumi-nonpribumi itu marak lagi, walaupun saya tak bisa mengukur tingkat maraknya lebih dari topik "LGBT" atau tidak. Terutama sejak Joko  Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) nekat dari Solo dan Bangka Belitung "menantang" kepongahan Jakarta. Berlanjut lagi hingga Jokowi jadi calon presiden dan terpilih sebagai presiden Indonesia, dan Ahok menduduki kursi DKI-1. Kian marak lagi saat Ahok harus solo-run, menyambut Pilkada DKI yang akan berlangsung sekian bulan ke depan.
Pemilihan pribumi-nonpribumi kembali mendapatkan tempat. Politisi yang bisa dipastikan sesat kerap menjadikan topik itu untuk menambah panjang daftar orang-orang sesat. Sebab mereka paham sekali, hanya dengan menggiring orang untuk ikut tersesat, maka kesesatan mereka sendiri tak lagi terlihat sesat. Jika itu tercapai, maka mereka berpikir akan lebih leluasa untuk terpilih.
Maka itu, pemilihan kalimat-kalimat berisi kata dikotomis pribumi-nonpribumi itu lagi-lagi menjadi pilihan mereka. Ini menjadi satu kata dari sekian ribu kata yang bisa dipakai, untuk membakar semangat "nasionalisme" yang mereka pahami.
Mereka menyepadankan pribumi-nonpribumi itu dengan penduduk asli-tidak asli, orang-orang baik dan tidak baik, hingga sebagai kawan atau lawan. Terang benderang, efeknya lantas muncullah pola pikir "dua kutub" tersebut; jika bukan kami, maka mereka, jika bukan kita maka mereka, jika bukan saya maka mereka.
Sesuatu selalu menarik sesuatu. Seperti halnya suatu pola pikir akan menarik satu pola pikir. Di sanalah pola pikir itu saling kawin, beranakpinak, dan bercucu. Lahirlah suatu "generasi" berpola pikir sama. Warisan yang ditinggalkan lewat pola pikir itu tak lain kecuali pola pikir yang mengajak berbakuhantam, untuk saling sikut dan saling sikat. Selama yang tersikut dan tersikat adalah "orang-orang mereka", maka "kita" tidaklah dirugikan. Kita menang.
Ya, sederhana saja mungkin persoalan dikotomi pribumi-nonpribumi ini. Sehingga ketika sekat tersebut terus digembar-gemborkan kalangan tertentu, tak ada yang berupaya mencegah. Sebab kalimat berisi kata-kata itu dinilai tidak sekotor kata-kata yang merujuk ke selangkangan, maka terkesan dibiarkan sajalah, toh itu masih etis.
Di internet juga, kata-kata itu bebas dilemparkan entah di media sosial hingga kolom komentar di bawah berita-berita daring. Bukan kata kotor, maka leluasa saja digunakan.
Entah apa dan bagaimana efek ke depan, dirasakan tak perlu untuk digubris. Selama kata itu menguntungkan, terutama untuk kepentingan politik, asal bisa menjadi duri di jalan para lawannya, biar saja itu dihamburkan sekenanya dan sesukanya.
Bahkan kata-kata itu dihamburkan lagi oleh mereka yang membawa-bawa embel-embel agama. Mengajak dengan dalih "nasihat" agar "mendapatkan hidayah", tapi terus saja mengkastakan umat Indonesia ke dalam dua kotak berbeda, pribumi dan nonpribumi.
Entah ini sebagai luapan ekspresi dendam masa lalu, entah. Sebab, konon, di masa lalu nonpribumi memiliki kasta lebih tinggi dibandingkan pribumi. Maka, pantas dirasakan oleh sebagian orang jika sekarang pengotakan seperti itu tetap ada, dengan catatan pribumi di atas nonpribumi.
Ya, jika membaca literatur tempo dulu, yang nonpribumi diidentikkan dengan kasta lebih tinggi sebagai kalangan yang lebih sejahtera, dihormati karena berperadaban lebih tinggi, memiliki kekayaan jauh lebih banyak, dan superior. Sedangkan kalangan nonpribumi, meski anak raja sekalipun, harus manggut-manggut dan menunduk-nunduk di depan nonpribumi.
Pertanyaannya, apakah pembagian begitu rupa dengan membalik posisi akan membuat kita yang melata di negeri ini menjadi lebih baik? Ah, akhirnya saya pun hanya bisa bertanya.* Twitter: @ZOELFICKÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H