Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tari Menjahit Matahari

11 Februari 2016   00:09 Diperbarui: 11 Februari 2016   00:15 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gbr: Pixabay.com"][/caption]Hanya buku, kain, dan mesin jahit. Itulah yang paling sering menemani Tari sejak ia melepas pakaian wisudanya. "Hatiku sangat dekat dengan ayah, tapi hanya ini yang nyatanya paling sering ada bersamaku," seakan menjawab tanda tanya besar di kepalaku, Tari mematahkan keherananku.

Bukan sekali aku berada di galeri tempat ia memajang sederet gaun yang sudah selesai dibuatnya. Sejujurnya, deretan gaun itu memang membuatku takjub, tapi aku sendiri lebih takjub oleh senyumnya, entah kenapa.

Kenapa dengan senyumnya? Ya, karena setiap kali kukatakan bahwa aku tertarik kepadanya, ia hanya membalas dengan senyum. Seribu senyum yang sudah diberikan olehnya untukku, karena memang sudah seribu kali kuulang-ulang bahwa aku tertarik kepadanya.

Apakah ia jenuh? Kulihat ia tidak jenuh memberikan senyumnya itu, dan itu kutafsirkan sebagai isyarat bahwa ia memang belum jenuh mendengar kalimat yang seribu kali kuulang itu. Entah aku terlalu percaya diri, sehingga aku begitu yakin, sejuta kali lagi atau dalam hitungan yang sulit terhitung pun, ia masih takkan jenuh memberikan senyum itu.

Gaun-gaun jahitan Tari memang sangat menarik. Mungkin karena tapak kakinya memang bagus, dan jari-jemarinya memang lentik dan menarik, maka itu keindahan dari tapak kaki di alas mesin jahitnya dan kain disentuhnya itu pun ikut jadi menarik. Kukira, iya.

Jangan tanya logis tak logis apa yang kusimpulkan itu. Sebab, atas semua rasaku kepadanya pun tak pernah kuperdebatkan, ini logis ataukah tidak.Jadi, biar saja logis dan tak logis menyatu seperti benang jahitannya bersama kain dan jarum. Walaupun kain dan jarum seperti tak ada mirip-miripnya, tak ada unsur kesamaan, tapi toh mereka sering bercumbu hingga melahirkan gaun yang setiap hari dijahit oleh Tari.

Aku kerap memerhatikan bagaimana jemarinya bergerak, tapi kakinya mengayun di tapak mesin jahitnya itu. Settt, setttt, setttt, dan itu di kupingku tetap terdengar merdu. Ya, mungkin saja karena suaranya memang merdu, maka suara mesin jahitnya pun jadi ikut terdengar merdu.

Lagi, jangan perdebatkan ini logis atau tidak.

"Aku sendiri bukanlah perempuan yang cukup logis dalam melihat hidup," pengakuannya kudengar dalam sekali kunjungan. Entah mungkin ia sedang menghiburku, karena mungkin ia tahu, aku seorang lelaki yang sulit menerima bahwa hidup harus selalu menyembah pada logika.

"Saat aku masih remaja, aku pernah jatuh cinta kepada lelaki yang 10 tahun lebih berusia di atasku," kata dia lagi. "Itu mungkin juga tidak logis. Tapi aku juga suka dikatakan tidak logis."

Aku tidak terlalu ingat, apa saja yang sudah kuungkapkan panjang lebar kepadanya dalam pertemuan demi pertemuan itu. Mungkin saja, karena otakku lebih tertarik mengingat suaranya, kata-kata dari bibirnya, dan ekspresi wajahnya. Bagi otakku itu jauh lebih menarik dibandingkan harus mengingat lagi apa saja yang sudah kuutarakan.

"Jika kau melihat aku menjahit begini, kau percaya tidak jika aku sedang menjahit matahari?" tanya dia, entah pada kunjunganku ke berapa ke galerinya itu, tapi itu pernah ditanyakan olehnya.

Mungkin dia sedang mengajak sedikit berfilosofi. Matahari mungkin sebuah simbol. Syakku begitulah, tapi tidak terungkap dari mulutku. Ingat, aku lebih tertarik mendengar suaranya, jauh lebih dari suaraku sendiri.

"Tak ada yang tahu bukan, apakah matahari di atas sana terluka atau tidak, retak atau tidak?" dia melanjutkan penjelasan, lagi, dengan kalimat tanya yang tak mudah untuk kujawab.

Ia membiarkan aku larut dengan pikiranku, karena mungkin ia mengira aku berpikir. Kuyakin, ia tak tahu, aku terdiam sama sekali bukan sedang berpikir. Aku hanya sedang menikmati gerak garis wajahnya, dan garisnya di ulas senyumnya. Ini lebih pantas mendapatkan konsentrasiku daripada harus berkonsentrasi berpikir.

"Matahari melakukan pekerjaannya sendiri saja. Tak ada yang membantunya. Entah oleh panas lalu ia meretak dan luka, tak ada yang tahu. Tak ada yang mampu melihatnya, atau mungkin tak tergerak untuk melihatnya," ia melanjutkan kata-katanya lagi. Sedangkan otakku mulai kembali bekerja merekam semua suara dan gerak bibirnya dengan rinci.

Menurut gadis ini, cinta itu ada hubungannya dengan matahari. Jika seseorang benar-benar mencintai penguasa siang itu, takkan ada yang harus ditakutkan untuk mengulurkan tangan ke langit sana, dan mengusap wajah matahari. Entah terbakar, atau bahkan mati, tapi usaha untuk mengetahui luka dan mengusapnya, takkan membuat mati menjadi sia-sia.

Tunggu. Penjelasannya tentang matahari itu tak selesai di sini. Ia masih kerap mengirim penjelasan itu lewat mana saja. Terkadang, ia menjelaskan setiap kali aku berkunjung ke galerinya. Tak jarang pula, ia menjelaskannya saat ia datang ke mimpiku. Tapi aku tak tahu, malam ini akan kembali mengimpikan dia ataukah tidak. Kalaupun tidak, aku yang akan mengambil inisiatif memanjat jendela istana mimpinya. Ya, kalau memang lewat pintu sulit untukku bisa masuk ke sana.* Twitter: @zoelfick

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun