[caption caption="Gbr: merdeka.com"][/caption]Sesama manusia hanya bisa saling menghakimi berdasarkan apa yang diketahui, tanpa memusingkan banyak hal yang tak diketahui. Tampaknya, sederet kalimat itu cukup mewakili ketika menyimak bagaimana posisi Soeharto di mata anak-anak negeri yang pernah dipimpin olehnya lebih dari seperempat abad. Dan, ini juga berkelebat di benak saya hari ketika saya menulis artikel kecil ini, yang juga merupakan hari mangkatnya presiden kedua tersebut.
Sedikitnya, itu juga yang berpengaruh hingga kematian menjemputnya, dan bahkan jauh setelah ia dikuburkan. Maka itu, jika tanggal 27 Januari, hari artikel ini saya tulis, bukanlah sesuatu yang janggal jika tak banyak yang mengingat ada apa pada tanggal itu? Kecuali, beberapa media saja, yang kembali mengangkat dan memperlihatkan ulang, itulah hari kematian Jenderal Bintang Lima tersebut.
Apakah itu petunjuk bahwa sisi buruk Soeharto lebih membekas di benak penduduk negeri ini? Atau, karena cerita tentang keburukan presiden kedua RI itu jauh lebih kuat menggeser catatan sejarah yang pernah sangat memuja Soeharto? Atau, kekuatan anti-Soeharto memang sudah sangat kuat sehingga menggerus jejaknya selama 30 tahun lebih memimpin?
Tanda tanya adalah hal lumrah ketika mengingat lagi bahwa dari bagaimana Soeharto naik ke puncak kekuasaannya. Maksud saya, langkah pertama Soeharto menjadi presiden pun sudah sarat dengan tanda tanya. Dan, tanda tanya itu masih menggantung di langit bumi bernama Indonesia. Belum terjawab.
Tapi, ketika tanda tanya itu sendiri masih terlalu banyak, rasanya tak elok juga langsung memilih mengarahkan mata ke sisi buruknya saja. Jika kita adalah hakim yang memilih sikap begitu, maka sikap itu justru tak bisa dikatakan sebagai ciri dari hakim yang baik. Setidaknya butuh gambar lebih besar, meski tak sepenuhnya utuh, untuk bisa menyimpulkan; “gambar” tentang perjalanan Soeharto lebih banyak buruknya atau tidak.
Ya, pikiran itu berkelebat di benak saya saat melihat di kalender bahwa hari ini adalah tanggal 27 Januari 2016. Di tanggal ini juga, pada 2008 lalu atau setelah 10 tahun ia lengser, ia meninggal dunia. Ia sama sekali tak memiliki kesempatan menjelaskan, mengklarifikasi, atau menerangkan, tentang rekam jejaknya sepanjang berkuasa. Ia lebih dulu dipanggil oleh pemilik nyawanya, yang sama sekali tak dapat dielak olehnya.
Sayangnya, di dalam negerinya sendiri hanya sedikit yang bisa dengan lantang membicarakan sisi baik Jenderal Bintang Lima tersebut. Kalaupun ada terbilang diakui secara malu-malu. Entah tak ingin citra “si Pemalu” mendadak turun di tengah iklim politik yang jauh berbeda dari Orde Baru, atau mungkin tak ingin distempeli pemuja Soeharto.
Apa pun, harus diakui hanya segelintir yang bersedia dengan gamblang dan jujur membicarakan kebaikan Soeharto. Terlepas di masa kekuasaan “Bapak Pembangunan” tersebut, sangat banyak yang rela menjilat-jilat hanya demi mendapatkan surat sakti untuk kepentingan tertentu.
Atau, bagi sebagian lain karena memang ada dendam masa lalu. Entah ada dari keluarganya jadi korban Orde Baru, dicap PKI, atau pernah terjerat pasal subversif, dan macam-macam, menjadi alasan untuk menutup mata dari melihat kebaikan mantan presiden tersebut. Bagi mereka, soal ampunan cukuplah menjadi haknya Tuhan yang Mahapengampun, sedangkan mereka sendiri bukanlah Tuhan. Sebab boleh jadi, dendam itu jauh lebih besar dari kebaikan yang pernah mereka terima dari presiden itu. Apalagi, tangan sang presiden pun tidaklah “Mahabesar”. Jadi semuanya wajar.
Tapi di luar negeri, mau tak mau harus dilihat juga, tokoh sekelas Nelson Mandela yang terkenal secara internasional pernah sangat berutang jasa kepada Soeharto.
Ya, Mandela yang pernah terpenjara tak kurang dari 25 tahun, pernah sangat terbantu oleh Soeharto karena bersedia memberikan sejumlah dana. Dana itu sendiri berarti sangat banyak bagi bekas presiden Afrika Selatan itu, untuk membangun kekuatan politik, dan menuju puncak kekuasaan di negaranya.
Ya, terlepas baik buruk Soeharto, ia pernah turut membantu seseorang yang diakui sebagai pemimpin baik di Afrika menuju kekuasaannya. Sejarah Afsel tak menampik itu, setelah perjalanan panjang politik Apartheid yang sangat menyakiti mereka. Soeharto menjadi salah satu yang turut menyembuhkan bekas luka tersisa di jiwa mereka. Entah di Indonesia sendiri.
*Twitter: @zoelfick
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H