Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dari Skandal Bill Clinton ke Tren Netizen

8 Januari 2016   20:58 Diperbarui: 8 Januari 2016   20:58 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa saja, bisa menjadi bahan untuk menyudutkan tokoh tertentu. Joko Widodo, presiden Indonesia hari ini, dalam dugaan saya, mungkin masuk ke dalam kategori figur yang paling banyak di-bully.

Katakanlah sempat muncul beberapa kehebohan seperti kasus Setya Novanto hingga Nikita Mirzani, tapi tak lantas mampu menghilangkan arah mata penikmat "bully" atas orang nomor satu Indonesia hari ini.

Lalu, apa yang bisa dipetik dari dua pemandangan kontras itu?

Bully yang dilakukan netizen yang menyasar Clinton, bisa dikatakan sebagai sesuatu yang tidak mengada-ada. Skandal Clinton-Lewinski bukan lagi sekadar rahasia. Clinton sendiri pun memilih tak ingin larut dalam masalah yang sudah lewat puluhan tahun lalu itu. Terpenting lagi, Clinton kini bukanlah Clinton yang jadi magnet utama di Gedung Putih.

Artinya, bully yang diarahkan kepada Clinton, nyaris tak membawa dampak apa pun kepada negara, atau keluarganya sendiri. Istrinya, Hillary, alih-alih memilih cemburu atas kasus itu, lebih disibukkan dengan aktivitas politiknya di AS. Sedangkan Clinton sendiri, lebih menaruh perhatiannya pada apa yang bisa dilakukannya di sisa usianya saat ini.

Tapi, tentu saja tidak begitu halnya dengan apa yang terjadi di Indonesia hari ini. Banyak netizen terkesan kebingungan, melempar sesuatu, entah isu atau tindakan tertentu, tapi tidak jelas ke mana arahnya.

Sebut saja tren yang terjadi hingga detik ini, tak sedikit yang tergiring oleh "permainan" sebagian netizen yang memiliki pengaruh. Entah karena aktor dari permainan itu adalah seorang selebritas, orang terpandang, atau kalangan berpendidikan, atau hanya orang yang sedang mencari pasar untuk bukunya yang tak laku-laku. Ringkasnya, apa saja yang mereka lempar nyaris begitu saja dilahap, dan disebarkan lagi lebih jauh. 

Jika dianalogikan, apa yang sedang terjadi saat ini tak bedanya dengan seseorang yang memakan makanan basi, dan ia memuntahkannya di depan orang-orang. Gilanya lagi, makanan basi yang dimuntahkan itu pun ditelan lagi oleh orang lain, entah karena mereka lapar atau tidak--yang penting telan.

Andai saja bisa mengimbau, maka saya pribadi menganjurkan agar mereka yang selama ini menjadi penikmat "makanan basi", sebaiknya tidak memuntahkan di sembarang tempat. Kalau memang ingin memberikan sesuatu, dan ingin itu membawa manfaat, berikanlah makanan yang baik-baik saja. Sayang, jika "makanan" itu membuat begitu banyak orang menjadi sakit, terlebih yang sakit adalah pikiran, takkan banyak dokter yang bisa memulihkan penyakit itu.

Katakanlah ada kepentingan politik atau bahkan alasan agama, tapi sebaiknya mengingat kembali, politik dan agama itu untuk kebaikan manusia, bukan untuk menghancurkan kemanusiaan.* @ZOELFICK

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun