Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

Lima Menit Pidato Soekarno di Lapangan Ikada

16 September 2013   20:04 Diperbarui: 19 September 2019   09:57 8849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 19 September memiliki catatan yang tidak lebih kecil dari 17 Agustus 1945, jika dikaitkan keberadaan Soekarno sebagai "founding father" dan pemimpin Indonesia. Pasalnya pada tanggal tersebut, ia menyedot perhatian rakyat setelah satu bulan dua hari ia membaca Proklamasi.

Puluhan ribu masyarakat Jakarta tumpah ruah di tempat yang saat itu dikenal dengan nama Lapangan Ikada (sekarang Jalan Medan Merdeka). Meski pemerintah Jepang menurunkan ribuan prajurit Nippon menjaga kawasan tersebut, tak kuasa membendung rakyat yang berkumpul hanya untuk bisa melihat sang presiden.

Dari sejak subuh, para pemuda hingga orang tua beranjak menuju Ikada. Awalnya, pertemuan akbar itu direncanakan hanya untuk memperingati satu bulan proklamasi pada 17 September.

Namun, karena kekhawatiran terjadinya hal-hal yang tak diinginkan, maka peringatan itu diundur hingga 19 September. Para mahasiswa menjadi motor di balik pertemuan yang diadakan untuk memperlihatkan bahwa Indonesia benar-benar sudah berdiri dan masih berdiri.

Menariknya, kabar rencana pertemuan itu hanya menyebar dari mulut ke mulut. Hasilnya, massa berkumpul dengan jumlah puluhan ribu--sumber lain menyebut 200.000--menunggu dari sejak pagi-pagi buta.

Massa yang berkumpul tidak hanya berasal dari Jakarta, tapi juga dari Tangerang, Bekasi, dan berbagai kota lain di sekitarnya.

Beberapa sumber menyebut, motif rakyat berkumpul saat itu hanya untuk memastikan bahwa mereka sudah benar-benar bebas dari penjajahan. Kendati, dari yang terlihat nyaris tak ada yang berbeda. Apalagi tentara-tentara Jepang masih berkeliaran di berbagai tempat.

Maka itu, Soekarno yang didesak oleh mahasiswa untuk datang, pun berpikir bahwa kehadirannya di tempat yang belakangan menjadi tempat Monumen Nasional berdiri itu akan sangat menentukan.

Karenanya ia pun memutuskan untuk datang, walaupun terdapat banyak pihak meragukan keselamatannya dan kekhawatiran terjadinya konflik. Hanya dengan kawalan para mahasiswa, Soekarno pun melaju ke Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (Ikada).

Setiba di lokasi, ia lebih dulu harus berhadapan dengan beberapa perwira militer Jepang. Soekarno memastikan kepada pejabat Nippon itu bahwa rakyat yang berkumpul di tempat tersebut takkan bertindak anarkis. Alhasil, ia pun menembus lautan manusia dan berdiri di tengah-tengah penduduk yang mengelu-elukan namanya.

Menariknya, banyak sumber yang menyebut bahwa pada saat itu, Soekarno hanya berbicara tidak lebih dari lima menit. Di depan massa, Soekarno menyampaikan pidato singkatnya:

"Percayalah rakyat kepada Pemerintah Republik Indonesia. Kalau saudara-saudara memang percaya kepada Pemerintah Republik yang akan mempertahankan Proklamasi kemerdekaan itu, walaupun dada kami dirobek-robek, kami tetap akan mempertahankan Negara Republik Indonesia. Maka berilah kepercayaan itu kepada kami dengan cara tunduk kepada perintah-perintah dan tunduk kepada disiplin."

Tak lama setelah menyampaikan beberapa patah kata untuk meyakinkan rakyatnya, Soekarno sama sekali tidak menyampaikan hal lain yang lebih panjang.

Ia hanya berucap, "Pulanglah dengan tenang. Tinggalkan rapat ini sekarang juga dengan tertib dan teratur. Tunggulah berita dari pada pemimpin di tempatmu masing-masing. Sekarang bubarlah. Pulanglah saudara-saudara dengan tenang."

Menjadi hal yang di luar dugaan banyak pihak, perintah Soekarno dipatuhi oleh rakyat yang membludak di Ikada.

Dan, dari berbagai catatan disebutkan, pidato singkat Soekarno saat itu dinilai mampu menjadi obat atas keraguan rakyat negara yang saat itu masih sebagai bayi. Nyaris tidak ada kecaman terhadap pemimpin pertama Indonesia itu. Sekalipun, hanya untuk mendengar pidato super singkat itu, masyarakat harus menunggu hingga 10 jam. 

Tak kalah menarik, keributan yang sempat dicemaskan oleh banyak kalangan, sama sekali tidak terjadi. Penduduk yang hadir mampu memperlihatkan "disiplin" seperti diharapkan oleh sang pemimpin.

Pada tiap 19 September, sepertinya momentum di Lapangan Ikada itu layak dijadikan cermin: apakah pemimpin hari ini mampu membuat rakyat mendengar kata-kata mereka? Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun