[caption id="attachment_310225" align="aligncenter" width="576" caption="Tatapan mata sang tersangka (Gbr: Tribunnews)"][/caption] Hingga hari penahanan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka, Jumat (20/12), KPK terus menjadi sasaran banyak pihak. Lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia itu terus mendapatkan perlawanan dan intimidasi. Tak kurang dari 40 bus warga Banten yang mengaku sebagai pendukung gubernur tersebut mendatangi kantor KPK. Tak hanya para pendekar provinsi itu saja, tetapi bahkan ibu-ibu majelis taklim pun ambil bagian. Kesimpulannya, mereka tidak rela atas penahanan sang gubernur.
Lagi-lagi, itu sama sekali bukan satu-satunya masalah yang mengadang KPK sepanjang mereka mengarahkan mata panah ke arah Ratu Atut. Taruhlah masyarakat yang melakukan aksi tersebut hanya masyarakat tidak berpendidikan yang tidak memiliki pengetahuan hukum, tapi batu ganjalan tak hanya dari mereka. Bahkan kuasa hukum gubernur itu, Firman Wijaya, pun mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang seolah ingin membingungkan publik dan memelintir banyak hal.
Contoh sederhana, sang kuasa hukum itu kepada media menyatakan bahwa Komisi Pemberatasan Korupsi tidak manusiawi. Alasan yang ia kemukakan, KPK tidak manusiawi karena melakukan penahanan terhadap kliennya tersebut. Pasalnya, menurut pengacara itu, Atut sedang sakit. Ini klaim yang seperti dipaksakan, dan seakan ingin memperlihatkan kepada publik bahwa Atut hanya seorang perempuan yang sedang dikorbankan. Secara pandangan pribadi, ini bukan sekadar pembelaan, tetapi sudah mirip seperti kejahatan seorang pengacara.
Merunut pernyataan-pernyataan pengacara ini lagi, terdapat beberapa hal yang ia nilai tidak pantas dilakukan KPK: Mereka tidak memberikan kesempatan kepada Atut untuk menjelaskan masalahnya. Kemudian, bahwa pada Jumat itu merupakan pertama kalinya Atut diperiksa sebagai tersangka. Selain juga, pengacara itu berasumsi bahwa pemeriksaan harusnya dilakukan saat tersangka dalam kondisi sehat. Karenanya, kuasa hukum gubernur Banten itu menyimpukan bahwa KPK terlalu memaksa menahan Atut.
Tapi semua hal itu tak membuat institusi yang menangani kasus Atut menyurutkan langkah. KPK tetap melakukan penahanan, Rumah Tahanan Pondok Bambu yang berlokasi di Jakarta Timur menjadi penginapan Atut selama 20 hari. Di sana sang gubernur dicampur dengan 16 tahanan lainnya dengan berbagai latar belakang kejahatan.
Dua kasus korupsi menjadi batu sandungan yang membuat Atut menjadi berita nasional, dibahas di hampir semua media baik cetak maupun elektronik. Kasus-kasus tersebut adalah proyek pengadaan alat kesehatan Pemprov Banten dan dugaan suap yang melibatkan kalangan Mahkamah Konstitusi.
Jauh sebelum KPK mengarahkan mata panah ke Atut, berbagai lembaga anti korupsi non-pemerintah sudah jauh lebih dulu mengendus praktik kotor dinasti Atut. Sebut saja Indonesia Corruption Watch dan Masyarakat Transparansi Anggaran Banten, adalah dua LSM yang getol membuka bobrok yang melingkari sang gubernur.
Per 13 Oktober 2013, ICW melalui wakil koordinatornya, Ade Irawan membuka masalah tersebut kepada media. Dikatakan, bahwa terdapat 175 proyek dikuasai oleh 10 perusahaan yang seluruhnya berada di tangan keluarga Atut. Tak berhenti di situ, juga terdapat 24 perusahaan yang juga berinduk ke keluarga Atut. Maka itu, diklaim oleh pihak LSM itu, terdapat total Rp 1,148 triliun keuntungan dari situ menjadi milik Atut dan keluarga.
Lalu bagaimana modus itu dilakukan? Menurut pihak ICW, modusnya mirip arisan. Perusahaan yang mengikuti pengadaan adalah perusahaan dari keluarga Atut, atau jika tidak, kroninya. Hal itu juga dikuatkan dengan pernyataan Oman Abdurrahman dari Mata Banten, yang menyebut, penentuan proyek dilakukan secara sistematis sebelum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disahkan.
Tentu saja, jalan KPK menjalani peran dan tugas mereka mengusut itu semua tak begitu saja berjalan mulus. Pada Jumat ketika pertama kali Ratu Atut ditahan, massa yang bergerak mengepung kantor komisi tersebut, menjadi sorotan berbagai media cetak dan elektronik. Mereka bahkan mengeluarkan berbagai pernyataan yang bernada intimidasi, salah satunya mereka mengancam akan menduduki kantor KPK.
Pengerahan massa tersebut menjadi tanda tanya kalangan media. Kuat dugaan bahwa itu dilakukan oleh kalangan dekat dengan tokoh nomor satu di Banten itu. Namun dugaan tersebut pun mendapatkan bantahan dari pihak keluarganya. Mereka mengklaim bahwa aksi massa dilakukan berdasarkan inisiatif masyarakat Banten sendiri, "Karena mencintai gubernurnya," ujar seorang peserta aksi tersebut kepada salah satu media televisi nasional.