Dari tanah perantauan, acap kali, lelaki yang berasal dari Sumatra tidak begitu saja melupakan tanah airnya. Mereka, juga akan membikin berbagai paguyuban, yang dengannya mereka melakukan apa saja yang mungkin untuk diupayakan disumbangkan untuk kampungnya.
Terkait sumbangan dari tanah perantauan, memang tak sedikit bahkan tercatat di buku-buku sejarah.
Jika mengambil contoh pada jaman kemerdekaan, tokoh-tokoh seperti Mohd Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Syafruddin Prawiranegara, mereka menyumbang dengan kegiatan-kegiatan kebangsaan yang sampai kini masih mengharumkan tanah Minangkabau, Padang.
Begitu juga, Muhammad Hasan, BM Diah, Yap Thiam Hien dari Aceh, dan berbagai nama lainnya memberi sumbangan dengan caranya.
Belakangan, cara memberi sumbangan untuk daerahnya sudah lebih menyesuaikan dengan jamannya.
Untuk saat ini, siapa yang tidak mengenal Surya Paloh, Ruhut Sitompul, Hotma Paris Hutapea, Soetan Bathoegana, dlsb. Mereka adalah produk-produk masyarakat yang memegang nilai tradisi merantau. Nilai yang ditransformasi oleh masing-masing mereka dengan cara masing-masing.
Perlahan, memang terdapat pergeseran yang terjadi. Pergeseran dari transformasi nilai tradisi merantau tadi. Artinya, ada warna berbeda yang dimunculkan.
Misal saja, Batak, dalam beberapa dekade sempat diidentikkan sebagai pemasok lini militer di Indonesia. Itu tercatat dari sejak A.H Nasution dan tokoh-tokoh militer lainnya. Belakangan, mereka yang bergiat sebagai pengacara lebih mengemuka. Brand yang akhir-akhir ini muncul, Batak adalah komunitas masyarakat yang memproduksi pengacara. Terlepas ini masih bisa dibantah, namun sedikitnya, stereotype demikian lumayan kuat sudah terbangun.
Sisi filosofis Tradisi merantau, sejatinya memang bukan monopoli masyarakat Sumatra yang sepertinya terilhami Kerajaan Sriwijaya yang pernah lahir dan mendunia dari sana. Masyarakat Jawa, Bugis, Papua, Madura, Ambon, juga sudah jauh dari jaman dulu akrab dengan tradisi tersebut. Namun, dalam cara mengtransformasi nilai-nilai di sana, tentu masing-masing memiliki kekhasan masing-masing.
Misal, masyarakat Papua, belakangan menyebar pemuda-pemudanya ke berbagai sentra pendidikan. Mereka melakukan serangkaian setting yang jelas cukup positif.
Di Bandung, beberapa kali saya mengajak bicara pemuda-pemuda Papua yang menempuh pendidikan di sana. Berdasar pengakuan mereka, itu menjadi strategi pemerintah daerah mereka agar kalangan muda bersedia meninggalkan daerahnya untuk mendapatkan pendidikan lebih baik.