Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Merantau Masyarakat Sumatra

9 Desember 2012   20:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:56 2063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13551429981099857400

[caption id="attachment_228688" align="aligncenter" width="300" caption="Gbr: World-Science"][/caption] "Duduk sini, Nak. Dekat pada bapak. Jangan kau ganggu ibumu. Turunlah lekas dari pangkuannya. Engkau lelaki, kelak sendiri." (Iwan Fals: Nak)

Sumatra menjadi satu pulau di negeri ini. Ia memanjang dari satu ujung mendekat ke Malaya, dengan ujung lainnya bersisian dengan Pulau Jawa. Dua posisi yang tak bisa ditampik membawa pengaruh pada warna masyarakat Sumatera sendiri.

Dari Aceh, Jambi, Padang, sebagian Sumatra Utara, sampai dengan Palembang. Di daerah-daerah itu, warna Melayu masih sangat kental. Sedikit berbeda di kawasan Lampung, sebagai daerah terdekat dengan Pulau Jawa.

Di Sumatra, memang terdapat cukup banyak suku bangsa. Di Aceh saja, terdapat Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, dll. Begitu juga dengan Sumatra Utara yang memiliki suku Melayu, Karo, Batak, dan sebagainya. Tak kurang halnya dengan Anak Dalam di Jambi, dan berbagai nama suku di daerah-daerah lainnya.

Memang, dengan latar belakang kesukuan yang begitu beragam, maka tradisi yang tumbuh pun sama beragam.

Namun, jika mencoba mengambil benang merah, terdapat satu hal yang mentradisi dan cukup diminati. Satu tradisi itu masih menjadi ciri yang tak bisa dihilangkan. Lagi pula, apa perlunya menghilangkan tradisi.

Merantau. Ya, meninggalkan tanah sendiri dan melangkah ke bumi Tuhan lainnya menjadi kebanggaan bagi lelaki Sumatra.

Saya kira, karena ada tradisi begitu pula maka muncul adagium, "Bagai katak di bawah tempurung." Kalimat peribahasa itu, jelas menunjuk pada siapa saja yang dipandang tidak pernah melangkah keluar jauh dari kampung halamannya.

Faktanya memang begitu. Bagi lelaki Sumatra, lahir dan kemudian sampai mati di tanah sendiri, sedikit terasa seperti aib. Kendati tidak semua memandang demikian.

Lelaki Sumatra yang tidak pernah mencoba mencari penghidupan di luar negerinya, luar kampungnya, dipandang sebagai sebenar-benar pengecut.

Ya, ini tercermin dari ungkapan-ungkapan yang lahir di masing-masing masyarakatnya. Masyarakat Batak, akan mengatakan, "Betah kali kau dekat ketiak bapak kau." Begitu juga dengan Aceh--daerah saya--juga kerap menyindir, "Bek sabee lam gapiet ma, keuh, (Terj: Jangan selalu dalam pangkuan ibu)."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun