[caption id="attachment_228688" align="aligncenter" width="300" caption="Gbr: World-Science"][/caption] "Duduk sini, Nak. Dekat pada bapak. Jangan kau ganggu ibumu. Turunlah lekas dari pangkuannya. Engkau lelaki, kelak sendiri." (Iwan Fals: Nak)
Sumatra menjadi satu pulau di negeri ini. Ia memanjang dari satu ujung mendekat ke Malaya, dengan ujung lainnya bersisian dengan Pulau Jawa. Dua posisi yang tak bisa ditampik membawa pengaruh pada warna masyarakat Sumatera sendiri.
Dari Aceh, Jambi, Padang, sebagian Sumatra Utara, sampai dengan Palembang. Di daerah-daerah itu, warna Melayu masih sangat kental. Sedikit berbeda di kawasan Lampung, sebagai daerah terdekat dengan Pulau Jawa.
Di Sumatra, memang terdapat cukup banyak suku bangsa. Di Aceh saja, terdapat Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, dll. Begitu juga dengan Sumatra Utara yang memiliki suku Melayu, Karo, Batak, dan sebagainya. Tak kurang halnya dengan Anak Dalam di Jambi, dan berbagai nama suku di daerah-daerah lainnya.
Memang, dengan latar belakang kesukuan yang begitu beragam, maka tradisi yang tumbuh pun sama beragam.
Namun, jika mencoba mengambil benang merah, terdapat satu hal yang mentradisi dan cukup diminati. Satu tradisi itu masih menjadi ciri yang tak bisa dihilangkan. Lagi pula, apa perlunya menghilangkan tradisi.
Merantau. Ya, meninggalkan tanah sendiri dan melangkah ke bumi Tuhan lainnya menjadi kebanggaan bagi lelaki Sumatra.
Saya kira, karena ada tradisi begitu pula maka muncul adagium, "Bagai katak di bawah tempurung." Kalimat peribahasa itu, jelas menunjuk pada siapa saja yang dipandang tidak pernah melangkah keluar jauh dari kampung halamannya.
Faktanya memang begitu. Bagi lelaki Sumatra, lahir dan kemudian sampai mati di tanah sendiri, sedikit terasa seperti aib. Kendati tidak semua memandang demikian.
Lelaki Sumatra yang tidak pernah mencoba mencari penghidupan di luar negerinya, luar kampungnya, dipandang sebagai sebenar-benar pengecut.
Ya, ini tercermin dari ungkapan-ungkapan yang lahir di masing-masing masyarakatnya. Masyarakat Batak, akan mengatakan, "Betah kali kau dekat ketiak bapak kau." Begitu juga dengan Aceh--daerah saya--juga kerap menyindir, "Bek sabee lam gapiet ma, keuh, (Terj: Jangan selalu dalam pangkuan ibu)."