3. Ambigue, untuk mereka yang terkadang bermain di dua jalan yang berbeda secara bergantian. Pada satu saat ia akan bermain seperti seseorang yang apa adanya, namun pada ketika lain ia akan berperan sebaliknya. Biasanya mereka cenderung sebagai penganut asas safety, ke mana ia bisa aman. Pastinya, mereka bisa disebut sebagai pihak yang lebih elastis atau lentur dibanding lainnya.
Kemudian, kita yang hari ini getol bermedia sosial, mungkin saja menjadi bagian dari salah satu tipikal tersebut. Soal mana yang lebih baik antara satu dengan yang lain? Saya kira, kembali pada cara bagaimana melihat keberadaan media sosial, bahwa di sana ada manusia dan dengan mereka pula berinteraksi yang pastinya tidak akan melulu di dunia maya. Maka, seperti apa interaksi yang diharap bakal terjadi di luar dunia maya, seperti itu pula ia akan menunjukkan diri di dalamnya.
Last but not least, paling tidak, mendefinisikan diri di dalam bermedia sosial bisa membantu diri sendiri untuk tetap nyaman di dalam dan nyaman di luar. Apalagi, saya sendiri pernah mendengar cerita seorang rekan yang menceritakan temannya ketakutan untuk bertemu orang-orang dalam berbagai macam gathering semisal kopdaran--tradisi populer di media sosial--cuma disebabkan ia sering kasar pada orang-orang di dunia media tersebut. Toh, media yang identik dengan internet ini jelas untuk berinteraksi, bersosialisasi, bukan untuk membuat kita tetap menjadi penyendiri. Karena jelas, jika bermedia sosial namun kemudian malah tetap menyendiri karena ketakutan dengan akibat ulah sendiri, artinya ia gagal memahami tujuan dari bermedia sosial itu sendiri, bukan? (Follow: @zoelfick)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H