Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasiana dan Kampanye Anti Plagiat

15 Maret 2012   05:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:01 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama hampir 3 tahun berkecimpung sebagai penulis blog di Kompasiana, saya temukan banyak sekali fenomena menarik. Beberapa fenomena itu adalah munculnya blogger-blogger istimewa seperti Erick Gafar, Winda Krisnadefa, Herman Hasyim, Julianto Simanjuntak, dan sekian nama lainnya. Tak sedikit muncul blogger yang terhenti hanya menjadi orang yang ingin diistimewakan.

Saya klasifikasi blogger istimewa dengan blogger yang ingin diistimewakan, karena alasan, kalangan yang pertama lebih kedepankan misi baik dengan cara-cara baik. Sedang yang kedua, membawa misi yang kurang jelas baik tidaknya, namun melakukan cara yang jelas-jelas tidak baik.

Melihat kalangan blogger yang pertama, mereka yang membawa misi baik dan melakukan cara-cara yang baik; cenderung lebih mendapat tempat di kalangan pembaca dan kalangan sesama blogger. Kendati, mereka tidak terlalu menonjolkan obsesinya.

Dari mereka yang saya istilahkan dengan kalangan blogger istimewa ini, saya dapati beberapa filosofi yang saya tarik secara implisit dari tindakan mereka dalam melakukan kegiatan blogging:

1. Confident.

Mereka cukup percaya diri, dan mereka sangat yakin dengan kemampuan yang ada pada diri mereka. Keyakinan yang keluar dari kepercayaan diri tersebut membuat mereka benar-benar bermain dalam lingkaran filosofistik; apa yang terbaik yang bisa saya beri?

Dari sana, tak heran jika yang mereka keluarkan dalam tulisan-tulisannya, nyaris selalu ada yang menarik untuk mereka hadirkan. Konsekuensi positifnya, mereka memiliki 'pasar' tersendiri. Tulisan mereka cenderung dicari, syahdan meski mereka tidak  harus melempar link kemana-mana, dan bahkan tidak berkoar-koar,"gue sudah menulis ini, lho".

2. Care.

Kepedulian mereka apa yang menjadi "need" atawa kebutuhan dari blogwalker dan pembaca. Itu yang mereka bidik dan itu pula menjadi titik yang mereka pertahankan. Artinya, mereka dengan bijak dan cukup apik bermain di lingkaran:

keinginan pembaca-> keinginan penulis-> tulisan.

Ada pembauran cukup bijak dalam melihat keinginan pembaca dan keinginan dirinya sebagai penulis, diolah sedemikian rupa dan kemudian dijadikan tulisan. Efek positif dari yang mereka lakukan adalah terhindari dari hal-hal yang memicu kebosanan pembaca.

Sepertinya mereka cukup awas untuk menaruh perhatian pada logika koki, maksudnya seorang koki yang baik tidak hanya memuja kemampuan sendiri dan keinginan sendiri untuk memasak penganan seperti apa, tetapi bisa melihat apa yang bisa mengundang selera mereka yang inginkan masakannya.

Konsep ini pula yang membuat tulisan mereka senantiasa diminati. Walaupun secara jumlah pengunjung tidak selalu membludak, namun setidaknya isi dari yang mereka bawa dengan tulisan-tulisannya akan selalu berpeluang untuk terus dikunjungi.

Pun, saya mendapati, mereka menulis tidak semata untuk show off, atau tidak menjadikan tulisan sebagai sarana eskapis dari libido narsis. Ini pula yang membuat mereka luput dari kejenuhan pembaca. Toh, pembaca cerdas tidak membaca tulisan saja, tetapi juga membaca mental penulisnya sendiri.

3. Up to date.

Saya kebetulan mengenal dekat nama-nama yang saya sebut di atas. Meskipun secara intensitas komunikasi tergolong jarang. Namun, dari mengobrak-abrik nyaris setiap tulisan mereka, saya dapati jika mereka adalah figur yang senantiasa meluangkan waktu untuk up to date, diawali dengan update pengetahuan mereka masing-masing. Tak terkecuali, mereka akan mengikuti berbagai perkembangan berita yang muncul di berbagai media, dan itu sangat kental terasakan dari aliran-aliran tulisan mereka.

Mungkin mereka tipikal blogger dan penulis yang paham sekali psikologi pembaca. Bahwa pembaca itu mengambil keputusan untuk membaca, ghalibnya karena memiliki kebutuhan, dan mereka peduli pada kebutuhan pembaca dimaksud. Dari itu mereka kemudian terpacu untuk bisa menjawab kebutuhan tersebut dengan selalu meng-update dirinya. Tidak mengherankan jika content dari tulisan mereka, kerap kali akan terketemukan isi yang selalu baru.

***

Itu hanya beberapa yang saya amati dari beberapa profil blogger dan penulis yang dekat dengan saya. Beberapa point yang sepintas lebih terlihat sebagai prinsip. Namun, pada sudut lain, yang mereka lakukan itu menjadi satu pemicu yang membantu mereka untuk tidak terjebak dalam kegiatan berbau plagiarisme. Tulisan-tulisan yang mereka hadirkan masih kental dengan sisi kejujuran. Sedang kejujuran itu sendiri, meski banyak orang skeptis dengan kejujuran di jaman ini, namun ia akan selalu membuat mereka yang konsisten bersamanya menjadi figur-figur istimewa tanpa perlu meminta untuk diistimewakan.

***

Menoleh lagi pada beberapa blogger yang saya klasifikasikan kemudian, mereka yang ingin diistimewakan, atau mereka yang selama ini berbusung dada dengan karya yang jauh dari kejujuran.  Ini masih kerap terketemukan di dunia blogging. Sepanjang nyaris 3 tahun saya ngeblog di Kompasiana, praktik plagiat masih terus dengan mudah bisa ditemukan.

Nah, ini yang menurut saya sebagai efek dari gagal melihat kelebihan kejujuran. Mereka terjebak stereotype dangkal yang kerap memengaruhi pikiran seolah jujur hanya mendatangkan kerugian. Padahal dengan ketidakjujuran sejatinya yang membawa konsekuensi negatif pada mereka sendiri. Beberapa efek itu, misal saja:

  • Jatuhnya reputasi mereka di mata kalangan sesama blogger, juga di mata pembaca. Sedangkan ini sebenarnya kontraproduktif dengan salah satu tujuan dari blogging sebagai media untuk personal branding.
  • Harus menerima dampak sosiologis, karena biasanya mereka akan dikucilkan atau dijauhkan dari pergaulan. Karena, meski bagaimana juga, dunia media sosial tak pelak digandrungi oleh mereka yang disebut makhluk sosial: manusia. Sebagai makhluk sosial, maka punishment atau hukuman sosial cenderung akan diberikan pada siapa saja yang melanggar nilai-nilai yang disepakati, misal soal kejujuran. Sedangkan pengucilan itu menjadi satu hukuman logis untuk tindakan ketidakjujuran ayang akan diberi sebagai hukuman sosial seperti yang disebut tadi.
  • dlsb

Itu hanya beberapa konsekuensi. Sedang lainnya saya lihat karena adanya mispersepsi atas mana yang harus dikejar, antara jumlah dan kualitas. Sebab memaksakan jumlah dengan angka memukau, entah jumlah tulisan maupun jumlah pengunjung, tidak serta merta membuat sebuat tulisan yang dihadirkan menjadi benar-benar bernilai.

Akhirnya, menjadi blogger pun, idealnya memiliki panduan yang dibuat oleh diri sendiri sebagai manifestasi bahwa kita adalah manusia merdeka. Merdeka dalam arti bertindak jujur karena pilihan sadar oleh diri sendiri, sehingga tidak perlu didikte panduan dari mana pun. Toh, konsep-konsep baik yang ditekankan pada diri sendiri, meski berat pasti akan membawa konsekuensi positif tersendiri. Dengan transformasi kesadaran demikian, saya kira bisa menjadi langkah antisipatif untuk tidak melakukan plagiasi. Sebagai kampanye anti plagiat lewat sikap kita masing-masing. (Follow: @zoelfick/ Gbr: Harian Jogja)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun