Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kantor Berita Srondol News dan 'Warna Baru' Dunia Humor

14 Januari 2012   09:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:54 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kantor berita kerap memberi kesan terlalu serius. Orang-orang bisa saja terasosiasi pikirannya ke Antara, Reuters, AFP, dlsb, ketika kita coba sebut kantor berita sebagai bahan obrolan. Tidak itu saja, terkadang pikiran juga cenderung terbawa pada gambaran sekian jurnalis yang mendapat fasilitas "wah", pengalaman jurnalistiknya mengundang decak kagum, plus berbagai ekspresi---yang kalau digambarkan---mulut melongo, lengkap dengan mata melotot. Tapi, ada kantor berita yang mengoyak pandangan seserius itu.

[caption id="attachment_163706" align="alignleft" width="384" caption="karikaturonline"]

13265315821296115418
13265315821296115418
[/caption] Apa itu? Di media Kompasiana, jamak orang kenal dengan sosok berambut yang kerap nyaris plontos yang membawa brand Srondol. Sebelumnya memakai nama Hazmi Srondol, belakangan menjadi Om Srondol. Ya, kantor berita tidak serius itu adalah miliknya. Sedang nama 'kantor berita' dimaksud itu sendiri adalah Srondol News, sebuah nama yang  kental aura guyonnya. Saya tidak ingin mendebat kenapa figur ayah dua anak itu memberi tajuk "kantor berita" untuk website yang menjadi miliknya itu. Justru saya melihat itu sebagai gambaran kreatifitasnya membawa sesuatu yang baru di tengah pandangan banyak orang atas betapa seriusnya kantor berita umumnya. Sesuatu ditabrak (nyrondol). Iya, ia menabrak kelaziman pandangan seperti itu---bahwa kantor berita identik dengan keseriusan. Saya sebut itu sebagai kreatifitas karena memang dari sekian banyak website humor, entah ketawa.com, dlsb, mereka cenderung lurus saja sebagai pelakon humor. Mereka konsisten dengan lazimnya humor saja. Kelaziman berbagai web humor itu juga ditabrak oleh Srondol News. Mencoba melihat lagi, jika ketawa.com sebagai komparansi, Srondol News cenderung lebih ter-up date content-nya. Beda halnya dengan ketawa.com yang lebih kepada humor-humor yang terkadang sudah demikian lama dikenal orang-orang. Tentu saja, ini sedikit bisa mengesahkan bahwa Srondol News memiliki kelebihan di sisi ini. Kemudian secara bentuk penceritaan. Ketawa.com acap memuat humor-humor yang ringkas saja, enteng, dan bahkan adem ayem. Tidak banyak kondisi-kondisi faktual yang bisa disindir oleh mereka-kecuali beberapa humor sufi yang juga disajikan di sana. Sedangkan Srondol News, mereka lebih bermain pada isu apa yang aktual dan sekaligus faktual. Ini pula yang menjadi kelebihan mereka selanjutnya. Cuma, saya belum tertarik mengatakan bahwa kantor berita humor itu sudah prima bermain di titik aktual dan faktual itu. Karena, pemiliknya, Srondol, mengakui bahwa itu masih digarapnya di sela-sela kesibukan lewat seorang tenaga admin. Jadi, dengan tenaga demikian, jelas titik aktualitas dan faktualitas itu belum bisa sepenuhnya terjawab. Meski masih terdapat missed pada titik-titik tersebut. Namun, jika mencoba melihat itu sebagai ekspresi kreatifitas, memandangnya dari perspektif inovasi, sekali lagi itu bisa disebut kreatif dan memang inovatif. Alasannya sederhana saja, mereka tidak mengekor pada bentuk umum sebuah kantor berita, juga tidak membebek pada bentuk umum website humor. Nah, Srondol News, saya yakini tidak akan memagari diri hanya pada yang sudah muncul. Artinya, mereka akan mengembangkan kreatifitas itu, bisa lebih memformulasikan itu menjadi  lebih inovatif. Tujuannya, agar 'kasta' humor bisa lebih naik, setidaknya melebihi dari yang umum dilihat dalam dunia humor. Sebab, tak bisa dipungkiri, selama ini banyak yang mempersepsikan bahwa humor musti bersentuhan dengan area esek-esek. Humor harus berdekatan dengan pelecehan, dlsb. Namun, Srondol berhasil membawa sebuah formula berbeda, bahwa humor tidak melulu harus berisi pelecehan, kemelekatan dengan esek-esek, dan semisalnya. Justru humor bisa menjadi satu alat untuk masing-masing kita bisa menertawakan diri sendiri, dan menertawakan berbagai hal yang memang dekat dengan kita. Konsistensi, mungkin itu menjadi tanggung jawab lebih lanjut dari Hazmi Srondol sebagai pemilik gagasan warna humor demikian lewat kantor beritanya itu. Artinya, memang ada suatu keniscayaan untuk ia bisa pertahankan warna baru humor itu. Bahwa untuk mengubah pikiran, mengubah mental, sampai dengan mengubah tradisi umum di tengah masyarakat, orang kerap mengaitkan dengan kuliah agama, kuliah moral, nasehat dengan wajah serius. Idealnya peran itu juga bisa dilakukan oleh humor. Sedang ketika sebuah humor sudah berada di tingkatan ini, saya kira itu bisa disebut sebagai humor yang berkualitas, dan menjawab kebutuhan. Di sini, sejauh ini Srondol sudah mencoba melakukannya, setidaknya kalau memperhatikan dari sekian banyak tulisan yang sudah ia muat di sana. Harapannya, itu bisa ia jadikan brand selanjutnya dari humor yang ia gawangi. Mungkin beberapa orang akan menyebut bahwa humor itu bukan wilayah alat untuk mengubah sesuatu. Apalagi kalau menyebut bahwa ia berwenang untuk mengubah pikiran, mental, dlsb, jelas itu bukan wilayahnya. Humor adalah humor yang memiliki 'tanggung jawab' untuk membuat orang tertawa, nyengir, manyun dan berbagai hal yang seirama dengan itu, titik! Paradigma demikian yang saya perhatikan kerap bermunculan, tak terkecuali humor yang ada di Kompasiana. Sedang itu, kalau boleh menyebutnya sebagai penyempitan, maka jelas itu penyempitan: humor hanya untuk membuat tertawa. Beda halnya ketika misal humor tidak stagnan pada soal mengubah ekspresi wajah orang, dari tegang jadi menganga ketawa. Namun bisa merambah ke misi perubahan, pada kritik sosial, dan sebagainya, itu sama artinya membuka area humor itu. Soal membuka  'area' humor itu, memang bukan satu gagasan yang hanya diusung Hazmi Srondol dengan formula humor plus kantor beritanya itu. Di dalam dunia Islam, humor sudah ada dalam berbagai cerita sufistik dari sejak masa-masa awal kemunculan Islam, sampai ia menyebar. Di sana orang-orang diberikan cerita yang mengundang gelak tawa, namun pada saat yang sama juga menggugah kesadaran. Tidak sekadar kesadaran dalam bagaimana melihat diri sendiri, namun juga dalam melihat berbagai hal yang ada di sekitarnya.  Bahkan sampai pada bagaimana melihat Tuhan. Di Indonesia, tradisi humor "mendidik" sudah digambarkan jauh-jauh hari lewat keberadaan wayang dengan Punakawan, yang sudah ada sejak abad 13 atau 14 di pulau Jawa. Atau belakangan lewat parodi yang dipentaskan Butet Kertarejasa dan kawan. Mereka membuka area humor menjadi jauh dari sekadar mengundang tawa, namun juga mengundang orang untuk berpikir. Lewat Srondol News, semoga Hazmi Fitriyasa bisa menebar warna humor demikian menjadi lebih muncul. (Follow: @zoelfick). Also Published in: Komunikasi Sastra.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun