Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kampung Fiksi, Saat Perempuan Angkat Bicara Lewat Sastra

27 November 2011   12:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:08 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selanjutnya, dalam membidik ‘titik tembak’ kegiatan kepenulisan yang dikembangkan. Mereka memilih lahan sastra sebagai titik perhatian mereka. Di sini, saya salah seorang pecinta dunia kepenulisan yang tidak berani untuk mengatakan sastra sebagai sesuatu yang sederhana. Betapa tidak, berbicara perkembangan peradaban, sastra menjadi bagian yang berperan besar di tengah arus perkembangan itu.

Untuk jaman seperti sekarang. Sastra bisa menjadi lahan acuan yang tidak hanya sekadar untuk bisa dinikmati karena keindahan bahasa yang dipergunakan di dalamnya. Tetapi juga, sastra kerap dijadikan sumber inspirasi. Kitab-kitab suci berbagai agama nyaris bisa dipastikan memiliki bahasa yang ‘nyastra’, karena memang---mencoba membuat permisalan: bahasa yang indah lebih bisa dinikmati. Ketika bahasa tersebut bisa dinikmati maka ia bisa lebih mudah merasuk ke dalam ruang-ruang rasa, akal dan jiwa. Nah, jika sudah merasuk ke dalam ruang-ruang itu, maka kemungkinan yang mungkin muncul adalah pikiran pembaca sastra akan terpengaruh oleh tulisan-tulisan sastra yang pernah dibaca.

Dalam kaitan dengan itu, saya meyakini, semua yang terlihat hari ini adalah cerminan semua yang awalnya hanya ada dalam pikiran!

Menarik merujuk beberapa buku biografi tokoh-tokoh nasional dan bahkan tokoh internasional. Membaca biografi mereka, sering kali yang saya lakukan, selain mencari-cari “cara berpikir” mereka, juga mencari “buku apa saja yang mereka baca.” Yang membuat saya terpukau adalah, jika ada 10 dari tokoh itu, maka 9 dari 10 tokoh-tokoh besar itu adalah para penikmat sastra. Diakui mereka bahwa buku-buku sastra yang pernah mereka baca kerap memberi mereka ilham dalm berpikir dan bahkan dalam mengambil keputusan. Tentu, bukan sekadar keputusan yang berhubungan dengan sikap pribadi saja dalam keseharian, tetapi juga bahkan dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan negara sekalipun.

Dari sana, maka saya menyebut bahwa sulit untuk bisa memaksa-maksa diri melihat sastra sebagai sesuatu yang terlalu sederhana. Isyarat bahwa, yang dilakukan oleh perempuan Indonesia yang berada di payung Komunitas Kampung Sastra tersebut bukanlah sesuatu yang sederhana. Siapa bisa meramal jika kelak, bukan tidak mungkin mereka bisa menjadi perempuan-perempuan penyebar inspirasi dalam ranah sastra di Indonesia.

Keluar dari soal itu. Tidak kalah menarik juga menelusuri pola pikir yang sedang mereka bangun lewat kegiatan komunitasnya. Acap kali, disebut dalam beberapa buku sosiologi dan psikologi, masyarakat di negara dunia-dunia ketiga (dunia berkembang) memiliki pola pikir dan mentalitas yang buruk, mentalitas dan pola pikir yang terlalu sempit, tidak jelas,dlsb.

Sedang di titik yang sama. Membangun sesuatu yang lama terjatuh, meningkatkan sesuatu yang kurang, membangkitkan sesuatu yang lemah. Jika hal-hal demikian menjadi keniscayaan---mengaitkan dengan usaha yang sudah dan sedang dijalankan komunitas Kampung Fiksi---maka mereka sedang membuka keran-keran pemikiran. Mereka membuka sungai-sungai kreatifitas. Dan, siapa bisa menolak kemungkinan jika suatu hari nanti mereka menjadi “air” yang tidak hanya mengisi keran dan sungai, tetapi kuasa merangsek ke lautan. Titik sastra memiliki kekuatan untuk melakukan itu.

Terakhir. Memang masih butuh proses lebih lama untuk mereka tiba ke titik-titik lebih tinggi, lebih besar dan “lebih” lainnya. Entah untuk bertumbuh menjadi sebuah komunitas yang bisa menggurita  dan terkenal seperti Forum Lingkar Pena yang digerakkan Helvy Tiasa Rosa, Cs atau Rumah Dunia-nya Gola Gong. Atau bahkan, menginginkan bentuk tersendiri ke depan.

Setidaknya, karena yang menggerakkan komunitas bernama Kampung Fiksi dimaksud adalah kalangan perempuan. Saya meyakini, bahwa mereka adalah makhluk Tuhan yang tidak hanya ‘seksi’—karena terobosan yang dilakukan---melainkan juga manusia-manusia yang dari intuisinya pun ditakdirkan Tuhan lebih paham dalam melahirkan, merawat, menumbuhkan dan mendewasakan. Toh, jika orang-orang besar pun juga lahir juga dari rahim perempuan. Soal melahirkan terobosan dan karya besar, saya kira tinggal bagaimana rekan-rekan perempuan di Kampung Fiksi meng-transformasikan intuisinya sebagai ibu ke dalam kegiatan mereka di ranah besar bernama sastra.

Artinya, saya salah satu yang percaya bahwasanya, intuisi mereka sebagai ibu-ibu (atau calon ibu), bisa saja menjadi landasan filosofis dan “kerangka pikiran.” Dari mereka melahirkan komunitas dimaksud, merawatnya sampai dengan “mendewasakan” komunitas.

Also Published in: PROTAGONI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun