Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mencari Nasionalisme di Film Indonesia, Adakah?

30 April 2011   02:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:14 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_106113" align="aligncenter" width="500" caption="Film Indonesia bisa mengangkat nama bangsa, juga bisa membuat citra Indonesia terpuruk (gbr: googleimages)"][/caption] Tidak ada film Indonesia. Yang ada adalah orang Indonesia yang bikin film (Wahyu Sihombing: tokoh teater dan film Indonesia). Film, harus diakui memiliki kekuatan. Mulai dari kekuatan memperkenalkan budaya dari negara yang memproduksi sebuah film, sampai dengan mempengaruhi persepsi dunia terhadap negara tersebut. Hollywood menjadi tempat di salah satu sudut Amerika yang sudah membuktikannya. Bagaimana dengan Indonesia? Saya kira, mengeluhkan keangkuhan insan perfilman nasional akhir-akhir ini tidak bisa menjadi sebuah pilihan tepat. Kita berikan stempel picik di kening mereka juga saya kira tidak akan mengubah apa-apa. Sebab, beberapa dari mereka lebih berpikir pada keuntungan yang mungkin diraup. Meski keuntungan tersebut bersifat sementara saja. Hanya saja, kritik untuk perfilman Indonesia saya kira tetap harus terus diberikan. Entah oleh mereka yang paham sekali dengan dunia film atau bahkan dari orang-orang seperti saya yang selama ini cenderung cuma menjadi konsumen saja. Terkait itu, saya kira ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pelaku film tanah air. Pertama, berempati pada keadaan riil bangsa yang bahwa di tengah masyarakat banyak sekali hal yang menggiriskan. Baik karena persoalan pendidikan yang terbatas sampai dengan kondisi lain seperti kemiskinan dan yang sekutub dengan itu. Dari sini, salah satu yang layak direnungkan adalah, masyarakat butuh inspirasi. Masyarakat dengan bahasa sederhana mungkin iya akan mengatakan butuh hiburan yang memang menghibur. Agar mereka bisa melupakan sekian banyak permasalahan yang mungkin melilitnya. Tetapi, saya kira merupakan sebentuk kedunguan kalau misal pihak industri film menerjemahkan kebutuhan pada hiburan dengan kesimpulan dangkal. Taruh saja interpretasi kebutuhan konsumen dengan menyajikan film-film yang berisi cerita kuntilanak sakit gigi dan semisalnya itu. Mungkin iya, itu 'menarik' karena kemampuan pemilik modal untuk membuat film dimaksud, mencarikan pemain film yang rela telanjang dan melakukan hal-hal yang rendah lainnya. Akan tetapi, layak untuk diinterpretasi ulang bahwa yang menarik tidak selalu dibutuhkan. Idealnya, yang disajikan menarik namun benar-benar dibutuhkan. Logika ini idealnya bisa dikedepankan oleh penggerak film Indonesia. Nah, saat menulis kalimat di atas itu, saya terkadang sampai merenung. Kira-kira apa apa yang terbetik di pikiran mereka yang selama ini menjadi produsen film di negeri ini? Saya tiba-tiba saja berburuk sangka, bahwa beberapa dari mereka akan dengan sinis berujar,"Elu ngomong saja, kalau gua minta elu bikinin satu film dengan durasi 5 menit saja tidak mampu!" Dan, ini sangat mungkin terjadi. Saya sendiri di sini, sekali lagi hanya bersuara sebagai seorang konsumen. Merasakan kegetiran atas pemandangan film Indonesia. Kembali dalam kaitannya dengan kritik terhadap film. Selama ini kita harus akui adanya beberapa institusi yang mewadahi pelaku film sampai pada yang mengawasinya. Cuma, saya sedikit merasa heran saja kenapa lembaga-lembaga tersebut tidak bisa memberi pengaruh pada mereka yang pasang periuk dari dunia film. Setidaknya membikin semacam konsensus bersama, bahwa film-film yang bisa diterbitkan ke pasar hanya film-film yang memiliki kualifikasi tertentu. Kualifikasi yang lebih tertuju pada kualitas dan manfaat yang bisa dihasilkan. Manfaat yang kira-kira bisa ditransfer ke pikiran penikmat-penikmat film. Dengan film yang bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat. Kita sering melihat film-film luar. Bagaimana mereka bisa menunjukkan totalitas dalam karya-karyanya. Saat membikin film-film bertema teknologi. Mereka bersedia mengeluarkan dana yang tidak kecil untuk melakukan riset dan sebagainya yang diperlukan untuk proses pembuatan film dimaksud. Gilanya, saat berbicara tentang topik totalitas dalam film, ini juga gandrung diterjemahkan pelaku film: orang-orang yang berani mendesah-desah dalam film dan pakaian ala kadar saja atau bahkan telanjang. Sedang mereka yang di luar itu terus bisa memproduksi film-film berkualitas, kita di Indonesia malah merasa 'berjasa' cuma dengan keberhasilan mereka melibatkan beberapa nama yang tercatat sebagai bintang film porno. Mereka itu, saya kira adalah orang-orang yang merendahkan film Indonesia. Bahkan, tegas-tegas merendahkan konsumen film Indonesia dengan tuduhan tersirat, yang dibutuhkan rakyat Indonesia bukanlah film berkualitas, tetapi bisa melihat paha-paha indah dengan dada yang menggiurkan. Konsep yang saya curigai seperti ditujukan supaya lokalisasi yang ada di beberapa daerah bisa memiliki semakin banyak pengunjung. *** Lepas dari geram terhadap kondisi film Indonesia yang akhir-akhir ini arogan. Saya sebagai salah seorang yang masih ber-KTP Indonesia masih bersyukur. Masih ada beberapa nama yang akhir-akhir muncul dan bersedia untuk membawa warna lebih baik. Sampai bisa munculkan film-film seperti beberapa film berikut:

  • Laskar Pelangi (2008) adalah sebuah film garapan sutradara Riri Riza yang dirilis pada 25 September 2008 dan merupakan adaptasi dari novel karangan Andrea Hirata, pada saat libur Lebaran. Skenarionya ditulis oleh Salman Aristo yang juga menulis naskah film Ayat-Ayat Cinta dibantu oleh Riri Riza dan Mira Lesmana. Hingga Maret 2009, Laskar Pelangi telah ditonton oleh 4,6 juta orang. Themesongnya  Nidji pun sampai sekarang masih menjadi Lagu yang laris di Indonesia.
  • Tjoet Nja' Dhien (1986) dibilang begitu. Film debut penyutradaraan Eros Djarot itu butuh waktu dua tahun buat menyelesaikannya. Pemeran utamanya, Christine Hakim jadi legenda hidup gara-gara film ini. Berkat Tjoet Nja' Dhien, setiap aktris muda pasti menyebutnya sebagai panutan atau bintang idola. Tak ada yang menyangkal pula, sebagai Tjoet Nja' Dhien, Christine berakting sempurna. Tak cuma Christine saja yang serba bagus di film ini. Filmnya sendiri, sebagai sebuah kesatuan karya sinema, nyaris tanpa cacat (diganjar 8 Piala Citra di FFI 1988). Tjoet Nja Dhien tak berisi uraian biografis kehidupan pahlawan dari Tanah Rencong itu. Melainkan juga berisi drama, pengkhianatan, dan kebesaran jiwa. Tak aneh rasanya kalau Tjoet Nja' Dhien merupakan puncak pencapaian dunia perfilman kita yang belum terlewati hingga kini.
  • Naga Bonar. Di sini Asrul Sani membuktikan bakat besarnya sebagai  penulis cerita terbaik yang pernah ada di Indonesia. Asrul piawai menghadirkan dialog yang memicu tawa, yang begitu dipikir lebih dalam ternyata mengandung makna luhur. Naga Bonar hadir buat berkelakar. Namun, ia tak berkelakar sembarangan. Yang jadi bahan kelakar justru pejuang negeri saat perang kemerdekaan berlangsung. Naga Bonar menyindir pemujaan pada para pahlawan. Film ini berpesan, tak semua pejuang di masa lampau itu punya niat suci membela negeri. Ada yang cuma bisa bicara saja. Nah, Jenderal Naga Bonar (diperankan dengan gemilang oleh Deddy Mizwar) pun aslinya pencopet. Tapi dari sosok inilah kemurnian perjuangan lahir. Sebagai karya sinema, Naga Bonar tampil lengkap, berisi sekaligus menghibur; tergarap dengan baik, tanpa cacat cela. Pantas rasanya bila film ini memborong 7 Piala Citra di FI 1987.
  • Gie atau Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa 1960-an, telah jadi sosok bak pahlawan. Pandangan dan kisah hidupnya memikat Mira Lesmana dan Riri Riza, pemilik Miles Productions. Keduanya lantas menggagas buat mengangkat kisah hidup Gie ke layar lebar. Hasilnya jadilah Gie. Akor ganteng Nicholas Saputra didapuk memerankan Soe Hok Gie. Tentu tampang Nico yang ganteng tak mirip Gie asli, akan tetapi ia bisa berakting (buktinya Nico diganjar FFI 2005 buat aktor terbaik). Sebuah gagasan yang mengingatkan kita pada mahakarya Usmar Ismail, Lewat Djam Malam, 1954.(sumber: 10 film Indonesia terbaik).

Mereka telah berinisiatif menghadirkan warna lebih baik untuk perfilman Indonesia itu sepertinya memang layak dihargai. Maka, jelang siang ini saya melamun, andai sineas-sineas yang ada bisa lebih kreatif dan berpikiran lebih terbuka. Saya yakin ini akan lebih mengangkat nama Indonesia dalam pentas perfilman internasional. Agar ke depan perhelatan-perhelatan yang berhubungan dengan penghargaan terhadap film tidak melulu disabot mereka yang berasal dari Eropa dan Amerika saja. Selalu ada kemungkinan, andai mereka di industri film nasional bisa mengawali dengan menaikkan selera seni mereka yang nanti akan membantu menaikkan selera dalam berkarya yang lebih baik. Semoga saja, tidak ada lagi dari mereka yang diam-diam ngedumel,"Film memang bukan sekolah, kenapa diharapkan bisa mendidik?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun