Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca Marzuki Alie, Mengeja Indonesia (Jika Wakil Bertanya, Rakyat Menjawab)

17 April 2011   00:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:44 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah disebut berlebihan, namun saya harus mengaku tadi malam sampai berkali-kali membaca dan mengulik tulisan berjudul: TKW antara Dicintai dan Dipolitisasi. Tulisan yang menjadi buah tangan langsung Marzuki Alie yang sedang ditimpa kemalangan berupa menjadi 'hulubalang' di institusi yang kerap jadi sasaran sumpah serapah masyarakat. Baik terang-terangan, maupun dilakukan diam-diam.

Saya harus baca tulisan tersebut berkali-kali karena alasan; tulisan tersebut beraroma sedikit mirip dengan kopi yang sedang berada persis di hadapan saya. Di Aceh, segelas kopi seperti ini sekaligus berfungsi sebagai tiket untuk mendapatkan satu kursi. Sedikit ruang di atas meja untuk meletakkan laptop pinjaman. Juga fasilitas wi-fi untuk saya bisa keluar dari tempurung.

Kopi itu saya reguk pelan-pelan. Seteguk demi seteguk. Ini yang kemudian membuat saya terbawa untuk menikmati tulisan Marzuki Alie seperti kopi di depan saya ini.

Laiknya kopi, mereguk sekaligus sama artinya membawa dua dampak buruk. Pertama, tidak bisa menikmati rasa dari minuman berwarna hitam itu. Kedua, tidak ada lagi alasan untuk saya bisa berlama-lama di warung kopi itu. Demikian halnya tulisan yang mengangkat tentang TKW yang saya sebut di atas.

Tulisan itu mengangkat potret yang ditemukan langsung oleh pimpinan DPR tersebut. Lengkap dengan sedikit uraian soal apa saja yang sudah mereka lakukan di lesgislatif dan juga gambaran apa saja yang sudah dilakukan pemerintah (sepintas).

Di sana, saya harus akui kekaguman yang menyelinap di hati saya yang masih ber-KTP Indonesia. Betapa seorang wakil rakyat yang berada di sebuah tempat yang mirip menara gading, namun masih bersedia melongok rakyatnya. Rakyat yang bahkan--seperti diakuinya--terpaksa memalsukan identitas demi untuk sebuah mimpi gaji yang lebih baik di negeri orang. Mimpi yang belum bisa dijawab ibu tiri bernama Pertiwi.

Saya mencoba menebak-nebak, menyimak kondisi yang dilihatnya langsung. Di luar yang dituliskan oleh figur salah satu tokoh bangsa itu. Kira-kira apa yang terpikir dan terasakan olehnya?

Justru yang kemudian menari-nari di kepala saya--terkait soal duga-duga itu tentunya-- adalah; mereka yang berada di tempat-tempat teratas itu memang mirip kopi yang saya minum. Manis tetapi berwarna hitam. Hitam namun manis.

Yang saya maksud, yang berada di tangan mereka adalah sesuaru yang tidak mudah untuk dipikirkan oleh sebagian rakyat negeri ini. Maka, ketidakmampuan pikiran rakyat itu, pikiran orang-orang seperti saya selanjutnya berujung pada pilihan menggunakan konsep; daripada lapar, daripada miskin, daripada melarutkan diri dalam mimpi-mimpi. Konsep yang kemudian, entah oleh kesalahan atau kegagalan interpresi menjadi lebih positif. Sampai berbuah pilihan untuk menjadi TKW saja. Pilihan bekerja di luar negeri saja. Tanpa terlalu memusingkan menjadi Pekerja Rumah Tangga (saya tidak suka menyebut mereka pembantu). Atau bahkan tidak sedikit yang harus tersenyum getir di lorong-lorong prostitusi. Lorong yang sekarang seperti gagal dilihat pemerintah. Kegagalan melihat yang membuahkan hasil, mafia trafficking meraja. Mereka memiliki kuasa bahkan melebihi pemerintah. Kuasa yang menjerembabkan sekian banyak perempuan Indonesia dalam sekian banyak cerita keterpurukan pula.

Sedang hari ini. Pemerintah memiliki banyak data terkait realitas itu. Tetapi saya curiga, data itu mungkin tidak terlalu mengasyikkan untuk dibaca. Maka kemudian gagal diterjemahkan dalam suatu kebijakan yang bisa menjadi penangkal kondisi yang layak disebut mimpi buruk itu?

Atau boleh jadi, karena memang demikian pekat kekuasaan itu, laiknya kopi. Sampai terlihat wajar, serentetan fakta perempuan di luar negeri--fakta membosankan kalau juga harus diumbar lagi di sini--nyaris tidak terjawab? Mungkin saya juga harus akhiri tulisan yang lebih mirip omelan ini dengan; wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun