Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencari Berita Baru di Indonesia, Mungkinkah?

13 April 2011   20:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:50 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini hanya guratan-guratan yang mungkin tidak terlalu penting. Sesuatu yang tidak jelas bisa didudukkan di mana, bahkan jika harus memilih membandingkannya dengan berjuta hal-hal tidak penting lainnya. Apalagi, boleh jadi guratan-guratan kata di sini lebih terkesan sebagai gerutuan orang yang gagal berpikir. Karena ini cuma tentang berita.

Diibaratkan dengan orang-orang sekelasku. Dalam arti, berada di kelas-kelas rendah di sela-sela sekian kelas yang disabot orang-orang yang saya curigai memiliki ukuran otak lebih besar (kecurigaan yang juga diakibatkan kegagalan melihat). Menelan makanan yang sama setiap hari tanpa variasi sama sekali. Kalau sedikit misal memaksa diri mencari variasi. Maka kecenderungannya adalah bersedia menelan yang lebih buruk dari sekian yang buruk. Pilihan yang mengundang rasa mual. Namun, ketidakberdayaan melahirkan ketidakberdayaan. Maka, masuk akal, untuk menahan mual terkadang juga tidak berdaya. Namun, tetap jua yang itu dan itu lagi pula yang musti ditelan.

Seperti demikian berita di negeri ini. Semuanya adalah repetisi. Pengulangan. Pencuri yang dipukul hari ini dan mungkin mati tanpa sempat minta pada istri adalah pencuri yang terpaksa harus mencuri karena harus jalani hukum repetisi itu. Hukum yang kemudian dicurigai sebagai sikap monoton Tuhan dalam menentukan suratan untuk manusia. Kecurigaan yang lagi dan lagi menjadi pilihan kembali orang yang gagal berpikir. Mungkin, orang-orang seperti saya.

Berita memproduksi yang lama untuk terlihat baru. Mencari bungkus yang baru agar yang lama bisa diyakini sebagai sesuatu yang baru. Proses menyihir pikiran terjadi. Beberapa kejadian, mereka yang meyakini dirinya cerdas tersihir oleh berita-berita itu. Lalu ia mencoba menyihir ulang lagi pada orang-orang yang dikiranya bisa ia sihir. Maka muncullah jamaah orang-orang tersihir. Sedang pembuat berita, sebenarnya kebingungan, apakah ia sedang mengalami pantulan sihirnya sendiri?

Sihir itu yang membuat pengulangan yang harusnya mengundang jenuh. Demikianlah sihir, terus bekerja lebih lanjut untuk bisa membuat orang-orang bisa menepikan jenuh. Ketika jenuh itu luput dirasakan, maka pengulangan membosankan itu menjadi satu hal yang konon disebut lumrah.

Banda Aceh, 14 April 11

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun