Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ada Virus dalam Buku

11 April 2011   08:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:55 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_101497" align="alignleft" width="276" caption="Ilustrasi (lovegayo.com)"][/caption] Setiap menyambangi perkampungan yang ada di Aceh. Saya kerap melamunkan, andai saja semua perkampungan itu familiar dengan buku.... Aha, saya tersadar, lamunan saja tidak memadai untuk sesuatu mewujud. Termasuk bila berharap semua perkampungan itu familiar dengan buku. Tersadar pun tidak cukup, karena saya harusnya bergerak dan bisa melakukan sesuatu sampai kemudian semua perkampungan itu dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki gairah baca. Setelah gairah itu tumbuh, selanjutnya baru dicarikan upaya untuk bisa membantu datangkan buku-buku ke sana. Atau, kalau memang mencari cara untuk mendatangkan buku-buku ke sana juga bagus. Ups. Lagi, itu bagaimanapun sering datang di pikiran. Dan, masih terhenti di pikiran saya. Saat berkunjung ke berbagai perkampungan itu, sulit bisa menemukan buku dikepit di sela ketiak mereka, anak-anak kampung. Buku yang nantinya bisa dibaca anak-anak kampung itu sambil mengawasi gembalaannya. Atau juga kegiatan-kegiatan lainnya. Itu, lagi dan lagi hanya bermain di pikiran. Ini juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadi saat kecil dulu. Untuk bisa membaca, cuma mengandalkan buku di perpustakaan yang tak jarang harus saya baca buku-buku yang sama sampai berkali-kali. Tidak ada pilihan lain. Sedang untuk bisa membelinya, paling menunggu penjaja buku-buku bekas yang datang sepekan sekali. Itu kalau memang ada. Seringkali, mereka tidak datang. Karena memang tidak banyak ureung gampong saya yang berminat membeli buku. Terdapat alternatif. Yap, saya terkadang sering menyambangi rumah-rumah teman kecil yang orang tuanya berprofesi sebagai guru. Dari mereka, saya bisa puaskan dahaga untuk membaca. Pengalaman terakhir itu yang memberi kesan cukup kuat di masa kecil saya. Betapa tidak, mereka yang memiliki buku, justru saya yang kemudian sering muncul sebagai jawara kelas. Thok, padahal saya tidak memiliki buku pribadi sebanyak mereka. [caption id="attachment_101498" align="alignleft" width="402" caption="Ilustrasi (Gbr: sakurambahman.blogspot.com)"]

1302518767363131169
1302518767363131169
[/caption] Masih teringat juga saat hidung kembang kempis karena ibu teman saya memuji prestasi saya di depan anaknya,"Dia tidak punya banyak buku, tapi dia mau membaca datang ke sini sampai larut malam. Kamu, banyak buku tapi tak ada yang kau sentuh!" Ups, ternyata sekerat bangga itu masih membekas sampai sekarang. Lho, bagaimana rencana saya untuk bisa tebar buku ke seluruh perkampungan di Indonesia? Malah jadi cerita diri sendiri. Maaf. Awal Kenal Buku, Kenal Baca Memang tidak mudah untuk bisa mendapatkan bahan bacaan di kampung yang jauh dari kabupaten. Ketika itu, Jeuram, gampong saya masih berada di bawah Kabupaten Aceh Barat. Untuk ke sana, butuh waktu bahkan sampai 2 jam kalau mempergunakan labi-labi. Tak ayal, untuk menemukan selembar koran saja menjadi satu hal yang sulit. Seperti yang juga saya alami. Untuk itu, sekadar untuk mendapat satu eksemplar koran pun, Bapak harus menunggu kabar ada rekan beliau yang bepergian ke kabupaten. Dengan begitu bapak bisa pesankan koran dari temannya itu. Ini juga kadang-kadang. Karena tentu saja, tidak setiap teman Bapak ke kabupaten akan memberitahukannya terlebih dahulu. Dari koran-koran yang didapati jarang-jarang itu pula. Birahi baca saya lambat-laun kian mekar laiknya bunga yang disiram. Kenapa tidak, koran bernama Serambi Indonesia, sebagai satu-satunya koran yang akrab dengan ureung Aceh saat itu masih memiliki banyak halaman yang dikhususkan untuk anak-anak. Terdapat cerita-cerita anak dan berbagai rubrik lainnya. Nah, ketika koran-koran itu kian akrab dengan saya. Kian kuat saja kemudian birahi baca itu. Sampai terdeteksi sebuah tempat. Rumah kepala desa (keuchik). Di Jeuram, saat itu cuma kepala desa yang akrab dengan panggilan Mantri Tajab itu yang rutin berlangganan koran. Namun, untuk bisa membaca koran itu juga tidak bisa dengan mudah. Terdapat semacam peraturan di rumah beliau, kalau ia belum menyentuh koran tersebut, tidak seorang pun diperkenankan untuk membacanya, termasuk anak-anaknya sekalipun. Sebagai peminjam, saya sendiri tentu harus ikut juga dengan peraturan tersebut. Tak ayal, sering kali juga karena beliau berprofesi sebagai Mantri, di samping sebagai kepala desa yang harus berkeliling ke berbagai desa yang ada di kecamatan (Seunagan). Sampai beliau harus pulang malam. Dengan kondisi ini, saya harus pulang dulu kalau sudah datang magrib untuk kemudian kembali lagi ke sana selepas magrib dan mengaji. Asal kegiatan rutin saya membaca itu bisa menemukan salurannya. Keluarga itu juga tidak keberatan ketika misal koran hari itu selesai saya baca dan kemudian mengambil tumpukan koran-koran lama untuk saya baca lagi. Koran-koran itu menjadi pemancing gairah saya membaca. Sampai kemudian saya akrab dengan seorang teman kecil, anak seorang guru di SMA yang juga berdekatan dengan rumah saya. Di rumah teman kecil saya ini, terdapat banyak sekali buku cerita bergambar. Sekian banyak buku yang ada di sana, bisa saya pastikan, semuanya terbaca habis oleh saya. Bahkan beberapa saya baca berulang-ulang. Di jaman sekolah, kebiasaan membaca berbagai bacaan dari koran sampai berbagai majalah itu memberi pengaruh positif karena berkesempatan berkali-kali menjadi juara kelas. Sedang di lingkungan sekitar, kerap dijadikan contoh untuk anak-anak lain. Sedang di saat dewasa, buku-buku mengajarkan saya banyak hal dalam menjalani hidup. Saat terpuruk, buku sering memberikan tanganny untuk mengangkat dagu saya untuk kembali optimis. Saat kelelahan, buku itu menjadi nutrisi yang kembali tegakkan tulang punggung saya. Saat sedang sedikit berduka, buku juga yang membantu saya untuk bisa kembali tertawa. Sedang ketika harus berlari, buku mengingatkan saya untuk melihat jalan dan pastikan langkah kaki saya berada di jalan yang tepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun