Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Botol Bir untuk Tuhan

10 April 2011   10:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:57 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_101228" align="alignleft" width="360" caption="Ah, lupa kureguk (Gbr: Kaskus.us)"][/caption] Ada berbotol-botol bir di atas meja kita, saat itu. Sedang penari di diskotik yang tidak kuingat namanya itu terlihat makin malam kian liar saja. Mereka seperti ingin kita buktikan dengan ketegasan, apakah kita lelaki atau bukan. Aha, kalau saja mereka mendengar obrolan kita, apakah mereka akan mengira kita gila atau mungkin, setidaknya tertawa tergelak-gelak. Iya, kita bicara tentang Tuhan justru di tempat yang konon sangat tidak pantas untuk membawa nama-Nya. Sedang otakku dan otakmu seiya bahwa Tuhan malah ada di semua tempat. Setidaknya logika kita, bila Tuhan merasa jijik untuk ikut masuk dalam tempat seperti itu, seperti apa Dia akan tahu bentuk jejingkrakan hamba-Nya. Untuk dituliskan di buku amal. Saat tarian sudah mulai membuatku pening karena tersadar bahwa aku lelaki. Kau demikian lihai kawan menyindirku,"Ah, kau dengan yang seperti itu pun sudah membuat nafasmu hampir putus..." Tidak mengeluarkan suara. Tetapi sangat terasa olehku jawaban yang hanya kuucapkan dalam pikiran saja,"Aku juga lelaki, bro!" Entah dengan cara apa. Demikian panas lenggak-lenggok perempuan tinggi semampai berbody montok itu, sangat menarik perhatian. Kau, justru dengan cara, entah hipnotis, membuatku berpaling dari pemandangan indah itu. Pemandangan yang teramat sangat susah bisa kudapatkan dengan leluasa di kampungku. "Kita seharusnya memang datang ke tempat-tempat seperti ini. Tapi, kutegaskan padamu. Bukan untuk membuat diri kita seperti kelapa. Meski di dalamnya penuh berisi dengan daging dan isi lainnya, namun tetap terhanyut dan mudah saja diombang-ambing oleh air sungai kecil sekalipun." Ah, kukira, sindiranmu itu adalah palu kecil. Namun cukup kuat memalu dan pecahkan bingar sangar birahiku."Iya, kita mencari Tuhan. Bukan selangkangan." Kita harus membayar sekian botol bir, saat itu. Sayangnya, kita lupa cicipinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun