[caption id="attachment_100686" align="aligncenter" width="640" caption="Jangan alergi dengan kata merdeka (Photo: Pribadi)"][/caption]
Seorang anak yang duduk memeluk lutut dan dengan tatapan yang kosong. Di sebelahnya terbaring sesosok jasad yang kurang jelas apakah seorang lelaki dewasa ataukah juga kanak-kanak seperti halnya dirinya.
Teriakan Merdeka. Ini adalah sederet huruf yang tertulis di bawah gambar dimaksud. Ini adalah buku yang merekam Aceh dari gampong-gampong di sana sampai ke kota. Dari perjalanan 'Aku' dalam menempuh pendidikannya sampai dengan soal ia ingin kawin dan mengalami kesulitan dengan proses pernikahan yang cenderung njelimet. Dari ajakan melihat indahnya kedamaian sampai tentang beringasnya perang--meski ada pula cerita yang mengumpamakan Amerika dan Afganistan sebagai Dua Orang Gila dalam bahasa sastrawinya.
Sedikit seram dengan penjudulan buku yang saya dapatkan ketika saya sedang berkunjung ke Bandar Publishing di Lamgugop, Banda Aceh. Persis ketika rekan Lukman Emha (dedengkot Bandar) mengeluarkannya dari kotak yang baru datang dari percetakan.
Melihat buku tersebut, yang pertama diikuti mata saya adalah sampulnya meski banyak yang 'mencereweti' saya untuk "dont judge a book by it's cover", tetap saja kebebalan saya untuk menilai sampulnya mencuat.
Dari sampul, saya menemukan kandungan makna yang sangat dalam. Polesan dari kartunis Aceh, Tauris Mustafa mampu membuat gambar sampul itu dipenuhi dengan isyarat isi ribuan huruf yang ada di dalam buku itu. Di sini terdapat harapan. Terisaratkan cemas. Terbetik keperihan sampai darah yang disimbolkan dengan latar warna dasar merah yang memang sangat dominan. Ikut bercerita tentang darah yang memang masih kerap menghiasi halaman sejarah ureung Aceh. Selain, merah juga merupakan warna lambang perlawanan. Penegas karakter dasar ureung Aceh yang di satu sisi membanggakan. Sedang di sisi lain, juga berkembang kesimpulan orang-orang luar Aceh sebagai bentuk kebebalan.
Membuka plastik yang membungkus buku yang baru saja tersentuh tangan saya ini. Aroma kertas yang masih baru begitu terasa. Menoleh ke sisi atasnya, Irwandi Zakaria, nama penulisnya tertulis dengan pemeposisian yang tidak terlalu mencolok. Dan kemudian berlembar-lembar halamannya telah terbalik satu persatu.
Menarik. Itu kesimpulan yang muncul di kepala saya kemudiannya. Tak pelak, buku ini menjadi menarik, tidak saja karena penulisnya adalah jebolan S2 bidang Pemikiran Islam IAIN Ar Raniry. Tetapi juga, terlihat kental bahasa yang begitu indah, kuat dan berkarakter tertoleh di halaman-halamannya dikarenakan memang konsistensi penulis ini dalam menulis sudah sangat dikenal publik Aceh. Terkait kapasitas penulis bubku ini. Memang berbagai karya penanya sering kali menghiasi berbagai media yang tak hanya di Aceh, namun juga berbagai media di luar Aceh dengan berbagai genre tulisan.
Menurut pengakuan Irwandi Zakaria, penulisnya, yang disebutkan sendiri olehnya dalam pengantar buku. Tulisan yang berada dalam buku ini memang merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang sebagiannya adalah tulisan lama. Bahkan ada tulisan yang diambil kembali yang semula dituliskannya semasih kuliah. Namun begitu, tetap saja, perpaduan catatan masa lalu dengan catatan sekarang itu justru membuat buku ini terlihat 'seksi', sekaligus menginspirasi.
Di sini, penulis membawa alam pikiran pembaca ke berbagai tempat di Aceh. Tidak terkurung oleh Aceh, tetapi ia dengan apik membawa cerita sampai ke berbagai negara di luar negeri. Tentu saja itu pun tidak lepas dari kondisi aktual saat tulisan itu dirampungkan, yang barangkali menjadi dasar inspirasi penulisnya.
Buku oleh penulisnya disebut lebih berat ke rasa ini, akhirnya harus saya akui memiliki kekuatan menyentuh rasa. Semua yang dihidangkan dalam 103 halamannya memang lebih bercerita berbagai hal dalam perspektif rasa. Demikian kesimpulan yang saya tarik setelah menutup halaman terakhir buku yang diorientasikan penulis untuk menjelaskan tentang indahnya damai tersebut.
Cuma, satu hal saja yang sulit saya pahami, alasan penjudulan dengan mengambil susunan huruf yang membentuk: Teriakan Merdeka. Itu saja, selebihnya, buku ini memang seksi. Sedang soal beberapa kesalahan pengetikan yang saya temukan di dalamnya, mungkin lebih karena memang ini baru cetakan pertama. Seiring nanti jika bisa dicetak ulang, semoga saja semua kesalahan ketik itu tidak ada lagi. Walaupun yang terakhir ini tidak membuat keseksian buku ini meluntur. (ZA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H