Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tanoeh Sembilan Belas Peluru

23 Januari 2011   14:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:15 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selanjutnya benar-benar gelap. Suara peluru terdengar seperti dalam mimpi.

Besok pagi. Aku sudah terbangun. Terasa baru bangun dari tidur saja. Di atas tika bloeh (tikar dari daun pandan) badanku terbaring. Masih berkunang-kunang juga.

Tidak butuh waktu terlalu lama. Pengantin itu mati. Her mati. Hampir tidak kupercaya!

Dengan sisa sakit yang masih cukup terasa. Aku bangun dan beranjak ke jenazah itu. Melihat lubang-lubang bekas peluru. Sembilan belas peluru menjadi kendaraannya menuju Tuhan. Tidak bisa kupanggil lagi. Selain hanya bisa sampaikan sebuah kalimat pada keluarganya. Kalimat yang pernah diucapkannya padaku. "Kalau aku mati, biarkan peluru tetap bersama jasadku!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun