Selanjutnya benar-benar gelap. Suara peluru terdengar seperti dalam mimpi.
Besok pagi. Aku sudah terbangun. Terasa baru bangun dari tidur saja. Di atas tika bloeh (tikar dari daun pandan) badanku terbaring. Masih berkunang-kunang juga.
Tidak butuh waktu terlalu lama. Pengantin itu mati. Her mati. Hampir tidak kupercaya!
Dengan sisa sakit yang masih cukup terasa. Aku bangun dan beranjak ke jenazah itu. Melihat lubang-lubang bekas peluru. Sembilan belas peluru menjadi kendaraannya menuju Tuhan. Tidak bisa kupanggil lagi. Selain hanya bisa sampaikan sebuah kalimat pada keluarganya. Kalimat yang pernah diucapkannya padaku. "Kalau aku mati, biarkan peluru tetap bersama jasadku!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H