Menjadi sufi tidak pernah disyaratkan harus berpakaian jubah lengkap dengan rambut dan janggut awut-awutan. Meski untuk menjadi sufi yang saya pahami, harus berani 'gila'.
Sufisme tidak terlalu bergaung memang. Ia lebih banyak hanya menjadi bahan kupasan di kampus-kampus untuk tujuan-tujuan yang tidak lebih dalam dari cekung mata mahasiswanya. Sedang pada tindakan, tidak sampai hati kalau saya harus membanjirinya dengan ironi yang terpampang.
Al Ghazali, seorang filosof yang kemudian alih kiblat ke sufistik bisa menghargai seekor lalat. Isyarat, semua yang diciptakan Tuhan, syahdan seekor lalat pun layak  untuk dihargai. Bagaimana dengan sekarang, Anda dan saya sering melihat sendiri sekian banyak potret yang disuguhkan dalam keseharian.
Rumi, menari dan mengeluarkan keringat yang beraroma cinta.
Al Adhawiyah menyepi demi cinta.
Sedang kita bergerak. Bernapas. Hidup. Jarang terketemukan pancaran cinta dari hidup yang sudah kita jalani, hari ini.
Ini saya, ini kita.
Ketika ditanyakan, bagaimana engkau memahami sufistik? Saya lebih memilih menjawab, sufistik itu cinta. Lalu, apakah cinta itu pasif dan ia hanya dalam jiwa saja? Ketika jiwa sudah 'dirasa' sudah bersih lalu diam?
Saya tidak percaya bahwa kita adalah manusia yang ikut lugu bersama jaman.
Cinta itu tidak mudah untuk mengalir. Tidak hanya seperti dalam lamunan remaja yang sedang membayangkan perempuan semulus Cindy Crawford. Itu hanya angan remaja yang baru mengenal birahi.
Sedang cinta itu, sejatinya adalah senyum ibu pada anaknya. Senyum yang tidak hanya memancar di wajah, sedang di balik dada menyimpan duri yang disisipkan angin dari semak belukar. Mari belajar pada ibu-ibu yang benar-benar masih memiliki cinta.
Mari ajak bicara seorang ayah, yang sudah benar-benar paham cinta. Lelaki yang tidak melihat nyawanya lebih berharga dari istri dan anak-anaknya yang butuh dinafkahi.
Mari ajak seorang anak yang mengenal cinta. Yang selalu melihat ayah ibunya sebagai manusia yang langsung berada di posisi setelah Tuhan...
Pun, pemimpin yang bicara dan bersikap dengan cinta. Sehingga sebait kalimat yang tidak dibuat-buat seperti puisi namun memiliki energi menghidupkan rumput yang nyaris terbakar oleh panas matahari. Yang bisa hidupkan prajurit yang sekarat dengan kekuatan cinta.
Iya cinta terkadang terlihat gila. Karena cinta bisa membuat sesuatu yang tidak berani dilakukan pengecut, namun bisa terjadi dan terabadikan dalam buku sejarah, atau setidaknya di hati.
Terlihat gila. Karena cinta yang membuat manusia tidak ingin berlutut pada manusia. Sedang dengan pilihan sikap itu, ia sedang mengubah yang harus diubah. Sebab, Â cinta tidak menuntut banyak bicara
Cilandak, 15 Januari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H