Menyambangi desa itu, harus berhadapan dengan jalanan berbukit dan berbatu. Licin, apalagi kalau sedang hujan.
Jambak, nama salah satu desa di Pantee Ceureumen itu.
Di desa ini, saat siang hanya terlihat kaum perempuan dengan anak-anak saja. Sedang kaum lelakinya menghabiskan waktu sampai berhari-hari di ladangnya.
Memang, karena lokasi hunian mereka di sela-sela perbukitan. Maka untuk keperluan bercocok tanam masyarakat di sini harus mencari tempat berkilo-kilometer jauhnya dari kampung.
Menariknya, walaupun jarak ladangnya demikian jauh. Namun mereka sama sekali tidak mempergunakan kendaraan apapun. Bukan karena alasan berhemat dan semacamnya. Melainkan karena memang tidak ada moda transportasi di desa tersebut.
Ketika misal sedang panen, mereka harus memanggul hasil panen dalam karung yang jauh lebih besar dari badan mereka untuk dibawa pulang ke desa.
Pun, itu mereka harus berjibaku dengan sungai yang hanya berjembatan seutas kabel yang melintang di badan sungai. Jika nanti karena kelelahan sampai badan mereka terlempar ke sungai yang dalam dan deras itu. Mereka hanya bisa menyeka air mata yang jatuh diam-diam. Lalu menyelamatkan diri untuk tidak terbawa hanyut yang juga hanyutkan nyawa mereka. Pada anak istri, mereka lebih memilih untuk memasang wajah tegar.
"Syit ka meunoe keudaan kamoe di sinoe dari jameuen, neuek." (Terj:Memang dari dulu kami sudah begini nak), ujar Tu Sabirin (65) saat saya temui lebih setahun lalu.
Sampai sekarang, kondisi masyarakat desa tersebut tidak jauh berubah.
Berdasar penuturan salah satu tokoh masyarakat yang enggan menyebut namanya (untuk masyarakat pedesaan di Aceh, mereka memang kerap risih menyebut nama sendiri), di sana sering terkendala hanya karena persoalan jalan saja.
Jalan yang ada, sedikit lebih luas namun masih berbahan batu dan berlumpur sampai menjadi tempat kerbau berkubang. Itu juga sedikit lebih baik saat setelah tsunami, ada program PNPM (saya juga lupa kepanjangannya).