Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sorga Hanya untuk Orang Tegas! Really?

3 Desember 2010   06:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:04 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang seberang yang berkulit lebih kinclong dari saya sering mengulasnya dalam berbagai seminar dengan nama assertiveness. Iya, itu sebutan mereka untuk menyebut ketegasan. Cuma, soal ketegasan ini, bahkan oleh orang yang cerdas sekalipun, acap saya lihat cenderung disepelekan atau bahkan tidak dianggap penting sekalipun. Kok bisa?

Uhm, tetapi sebaiknya saya tidak perlu menghabiskan waktu mencari-cari kesalahan orang terlebih dahulu untuk bisa menulis tentang ketegasan dimaksud. Jadi, lebih baik saya melihat yang dekat-dekat saja. Pastinya yang paling dekat dengan saya saat ini ya saya sendiri.

Begini, saya sama seperti Anda yang mungkin tidak sengaja harus membaca tulisan ini. Artinya, saya tak jarang melakukan kesalahan, khilaf dan yang sesukunya. Sesekali, saya memang memaafkan diri sendiri ketika melihat kadar kesalahan tersebut saya yakini tidak berdampak melahirkan kesalahan yang lebih besar. Cuman, harus saya akui, bahwa saya justru lebih sering lagi tidak memaafkan diri sendiri atas sesuatu kesalahan yang saya lakukan . Apalagi kalau itu adalah kesalahan yang dilakukan secara berulang-ulang. Itu juga sudah ada secara natural saja sejak saya masih kecil. Tak ayal, sebuah cermin  yang memperlihatkan muka saya menjadi sasaran kepalan tangan saya sendiri, ketika itu.

Konyol bukan? Lha, tidak apa-apa, toh kekonyolan juga seringkali memberikan pelajaran tersendiri. Kejadian masa kecil saat saya masih berusia belum sampai 12 tahun itu masih sangat membekas di kepala saya. Bukan karena Bapak saya tukang tato dan mengtato kepala saya dengan cap: INI ANAKKU YANG SUDAH MELUAPKAN MARAH PADA DIRI SENDIRI DENGAN CARA MENINJU CERMIN BESAR DI LEMARI PAKAIAN. Tidak. Mungkin karena Bapak saya tahu bahwa menulis sekian huruf itu tidak akan cukup di kening saya yang cuma memiliki lokasi 'menulis' sesuatu beberapa senti saja.

Membekas karena waktu itu, setelah memecahkan kaca itu, beruntung sekali Bapak dan Ibu saya tidak sampai menyemprot saya dengan kata-kata yang membuat hati saya semakin sedih. Justru beliau memeriksa tangan saya, luka atau tidak? Beruntung, meski bukan tangan Gatot Kaca, namun tidak sampai terluka.

Itu jelas ekspresi ketegasan seorang kanak-kanak. Seorang kanak-kanak yang mencoba memberi hukuman pada diri sendiri. Sedang sekarang, ketika menyadari sebuah kesalahan. Langkah lain yang saya lakukan adalah tetap memberi hukuman. Misal, tidak ijinkan perut terganjal dengan makanan apapun meski sedang merasakan perih akibat lapar (boleh untuk Anda tidak percaya, karena Anda kan tidak tahu bisa jadi saya menahan lapar karena memang benar-benar sedang tidak punya uang sepeserpun). Atau, bentuk lainnya, tidak mengizinkan diri sendiri tidak tidur sampai 3 malam berturut-turut meski mata cuma tersisa kekuatan beberapa watt saja. Pernah saya cerita soal ini ke seorang teman, yang awalnya memang saya kira bisa dijadikan teman, tetapi apa katanya;"Sikapmu lebih mirip seorang psikopat!"

Menjelaskan padanya bla bla bla, jelas bukan pilihan tepat. Karena saya tahu sangat, orang yang saya sangka bisa menjadi teman itu sangat yakin sekali dengan apa yang meluncur dari mulutnya. Bahkan ia lebih percaya suara mulutnya daripada firman Tuhan sekalipun.

"Take your way!" Kata saya padanya. Tentu tidak langsung di depan mukanya. Tetapi dalam hati. Karena saya melihatnya sangat kompromis atas setiap kesalahan,"Take your way!" dan selanjutnya saya tidak memiliki selera untuk menyapanya. Lalu, kenapa saya selanjutnya lebih suka memilih seorang sahabat yang tegas. Yap, karena saya ingin memelihara ketegasan saya. Meski, oleh beberapa orang, ketegasan itu hanya membuat seseorang menjadi kaku. Menjadi kikuk dan bahkan terlihat dungu. But that's it okey! Toh saya tidak serta merta dicemplungkan ke neraka oleh Tuhan karena memelihara sikap saya untuk tegas. Juga tidak serta merta Tuhan meng-stop stok teman untuk saya karena memilih untuk menjaga jarak dengan beberapa orang yang pernah ada dalam hidup saya.

Ha? Jadinya saya lebih banyak bercerita tentang diri sendiri bukan? Semoga saja Anda tidak sampai mencibir saya diam-diam karena mengambil flashback dengan bercerita tentang diri sendiri. Sebentar, juga jangan mengira bahwa orang hebat bisa bercerita tentang diri sendiri. Apalagi, kan sering Anda dengar,"Hanya seorang pengecut yang lebih suka menulis tentang diri sendiri,"

Entahlah, saya tidak tahu, dari cerita ringkas yang lebih banyak memampangkan ketololan saya ini akan ada pelajaran berharga yang bisa Anda ambil. Kalaupun ada, sebaiknya tidak diambil. Karena kalau diambil secara sendirinya Anda sudah membuat saya kian bernafsu untuk menggurui orang-orang. Pun, saya sendiri ragu kalau ilustrasi seperti ini bisa dengan tepat mengantarkan Anda yang membacanya pada kesimpulan yang juga tepat.

Jakarta, 3 Desember 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun