Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenapa Harus Wudhu'?

1 Desember 2010   06:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:08 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baik! Jadinya saya memilih saja cuma merenung dan merenung. Bukan berpikir. Tidak berpikir karena memang saya tidak percaya diri dan benar-benar minder untuk berpikir. Jadinya, lagi, hanya merenung setiap melakukan wudhu' dimaksud. Oh, mungkin kenapa dalam wudhu' itu, kaki harus duduk dalam urutan terakhir dibasuh air  mungkin karena yang terakhir kena airlah yang akan terakhir juga kering. Intinya, kalau mengibaratkan dengan mendirikan bangunan, meski yang lain-lain rontok, tetapi pondasinya tetap terjaga. Sedikit teoritik (atau teoritis?), suatu hal yang dilakukan terakhir ada maka ia juga yang akan terakhir hilang. Dan teori ini masih boleh dibantah kok, tapi mohon jangan di depan saya.

Kemudian lagi, dalam wudhu' kan, secara urutannya dimulai dari tangan, mulut, hidung, niat, muka,pergelangan tangan,  kepala, telinga dan terakhir kaki.

Tangan

Menjadi organ yang paling banyak menyentuh. Memegang apa saja, dari nasi sampai tahi. Maka tidak keliru kalau dalam konsep kesehatan pun, akhir-akhir ini sangat digalakkan adanya kesadaran untuk cuci tangan. Sayangnya, anjuran cuci tangan itu juga didengar banyak pencuri, dan mereka juga ikut cuci tangan sampai tidak ada yang bisa mengendus.

Sedikit lebih ke dalam (jangan menuduh saya sebagai orang yang berpikir sangat mendalam), dengan tangan bisa menolong, bisa memberi bantuan, bisa menyejukkan banyak orang dengan elusan penuh cintta, bisa melelapkan bayi ketika dibelai ibunya. Dengan tangan pula, yang paling kotor yang keluar dari tubuh bisa dibersihkan.

Banyak peran yang ia jalankan. Meski dengan tangan bisa juga melakukan hal-hal yang bisa membuat manusia dipandang rendah, misal saja meminta tolong saat susah, seperti yang saya sendiri juga pernah lakukan. Tapi bicara minta tolong itu, bisa menjadi pilihan terakhir, ketika memang kondisi sedang tidak bisa digeser. Asal, ya, saat minta tolong juga masih disisakan niat untuk kelak bisa memberi pertolongan. Jangan sampai, sisa niat pun tidak ada untuk bisa menolong orang.

Mulut

Ha, ini dia. Pergunakan mulut ditemani microphone, lalu teriakkan apa saja yang sudah Anda lakukan sampai ke siapa saja yang Anda tolong. Mungkin, efeknya, orang tersebut kian rendah diri. Tuhan pun tidak akan mencatat itu sebagai kebaikan. Atau, pergunakan mulut untuk menggunjing istri tetangga yang malas mandi, malas memasak, sampai malas sikat gigi. Yang terakhir ini bisa beresiko membuat Anda menjadi 'hantu' yang pelan-pelan dipasangi kemenyan agar lekas jauh dari kampung itu. Menyedihkan bukan?

Tetapi memang, mulut dalam banyak wejangan mereka yang lebih layak dipercaya daripada saya, sering disebut sebagai bagian tubuh yang menjadi penentu. Iya, penentu selamat dan tidak, semakin bijak atau kian dungu, disenangi orang atau tidak, dihormati orang atau tidak sampai ke apakah Anda akan makin kaya atau tidak. Lho, apa hubungannya mulut dengan kaya dan tidaknya?

Perhatikan saja mulut mereka yang terlibat dalam politik sampai ke bau mulutnya. Mereka yang berbau mulut lebih segar cenderung lebih cepat kaya. Karena ketika bicara, disebabkan bebas dari bau mulut maka suara mereka didengar. Karena suara didengar maka kemudian mereka berkuasa. Dan ketika mereka berkuasa, maka mereka bisa lebih kaya. Tapi jangan pergunakan logika seperti saya ini jika merenungkan soal mulut tersebut. Karena kalau boleh saya mencuri pikiran Anda. Pasti Anda akan berteriak, bahwa Anda tahu berkata yang baik akan berbuah baik. Berkata buruk maka akan berbuah buruk. Tapi, saya mencibir Anda tadi saat ke kamar kecil, karena Anda tahu, cuman tidak melakukan itu. Kalau hal baik tidak dilakukan, sama saja dengan saya yang dungu ini. Sudah tahu tapi tidak dilakukan, apa bedanya dengan tidak tahu?

---------------------------

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun