Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengintip Perempuan Aceh

3 November 2010   08:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:52 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_313936" align="alignright" width="300" caption="Inoeng Aceh, kiban gampoeng? (Gbr: Googleimages)"][/caption] Lekuk tubuhnya indah seperti bunga baru merekah. Senyumnya tak kalah seperti harum mawar merah. Dengan kesantunannya yang keluar dari wajah mengundang gairah. Yap, perempuan Aceh. Mereka yang lahir dan hidup di tengah-tengah komunitas masyarakat yang kerap dipersepsikan sebagai masyarakat keras kepala, udik dan hanya menyukai perang. Di dalam kumpulan manusia yang berada di salah satu ujung Indonesia. Dulu, perempuan di daratan bernama Aceh itu kerap disebut sebagai perempuan yang berjiwa pahlawan, ketika negeri ini memang sedang digagahi penjajah. Mereka bisa bangkit dengan rencong dan parang, kuasa mengujam tubuh-tubuh kaphee penjajah. Sedang pada saat yang sama mereka punya kekuatan mengubah lelaki pengecut menjadi pahlawan. Sejarah lantas mencatat beberapa nama perempuan itu, Nja' Dhien, Nja' Meutia dan beberapa Nja' lainnya sampai Laksamana Malahayati yang menjadi panglima perang yang lumayan mampu membuat ciut nyali para penjajah. Mereka tidak kenal teori-teori jender. Mereka tidak pernah mengikuti seminar-seminar yang merecoki pikiran bahwa kebenaran itu berasal dari mereka yang datang dari Barat. Mereka justru belajar dari rangkang-rangkang dayah, dari rumoeh seumeubeuet dan dari ayoen do da idi yang diiringi hikayat prang sabi. Inilah perempuan Aceh. Dan itu dulu! Hari ini Aceh masih disebut Aceh, negeri yang masih kerap disebut negeri aneh, melahirkan orang-orang yang aneh. Sejarah yang pernah ada nyaris tidak meninggalkan jejak sama sekali sedikitpun. Kalau kemudian masih ada perempuan-perempuan yang 'mengangkat rencong' dengan berbagai bentuk sesuai perkembangan sekarang (baca: modern), tidak terlalu banyak yang muncul ke permukaan. Dayah-dayah yang ada di gampoeng sudah tidak terlalu diminati, mungkin karena memang terlihat sebagai institusi pendidikan yang sudah tidak terlalu sesuai dengan perkembangan jaman. Tak pelak yang muncul bahkan inoeng Aceh berani telanjang bahkan sampai level internasional. Dan itu dilihat sebagai hal yang masuk akal, karena memang demikian tuntutan jaman. Sedang penentang tindakannya dipandang tidak lebih dari orang-orang yang sok moralis. Perempuan Aceh adalah Aceh itu sendiri. Mereka yang ikut menunjukkan wajah Aceh itu seperti apakah aslinya. Telah banyak sejarah yang bercerita tentang itu. Sedang cerita hari ini, semoga kelak tidak dicatat dalam sejarah. Dulu, Aceh dilihat dari sejarah yang seperti bunga merekah merah. Hari ini, mungkin sekian banyak mata menunggu hanya dengan dengus nafas penuh gairah. Entah karena tidak ada lagi gema aneuet meubeuet (anak mengaji) di langit Aceh, atau mungkin karena memang pengaruh mimpi yang sedemikian melangit. Wallaahu A'lam. Jakarta, 3 Nov 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun