Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cubit Presiden

4 Juli 2010   15:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:06 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_185203" align="alignright" width="300" caption="Kembalilah Nurhayati...dangdut itu lho (Gbr: Google Images)"][/caption] Entahlah, saya cuma bisa termangu dengan sikap seorang artis yang entah untuk tujuan apa, berangkat ke luar negeri hanya untuk operasi agar ia bisa kembali menjadi perawan. Teringat celetukan seorang kawan,"Apa yang dipamerkan kebanyakan artis, tidak lebih dari tubuh dan tubuh. Kekayaan mereka hanya itu saja, tidak lebih. Jika ada satu dua artis yang berotak, itu secara kebetulan saja. Tetapi kebanyakan yang berotak akan memilih hengkang dari dunia itu. Kalau juga bertahan, mereka pasti munculkan idealismenya seperti Dedy Mizwar." Ah, kalau sudah panjang begini memang bukan lagi celetukan ya? Tapi bukan soal itu adalah celetukan atau bukan, tetapi ini soal cubitan. Lho? Iya, memang soal mencubit itu menjadi persoalan serius. Karena dengan mencubit itu, jika tepat bisa merubah banyak hal. Saya salah satu yang sudah merasakan efek cubitan. Dan ini murni cubitan. Ketika dulu masih belajar mengaji, tetapi karena merasa sebagai salah satu santri yang lebih cepat bisa mengaji maka kemudian muncul sombong di hati, sampai ketika yang lain sibuk dengan mengulang-ulang mengaji, tiba-tiba tangan Teungku* sudah berada di punggung saya. Awalnya beliau hanya membelai-belai saja, tetapi tak lama sebuah cubitan kecil terasakan di belakang. Duh, saya kena cubit. Meringis sedikit. Tidak lagi bernyanyi. Diam. Sejak saat itu, jika mulai merasa sudah 'ingin' sombong, teringat kembali dengan cubitan itu. Nah, kalau melirik kiri kanan--tetapi jangan istri orang--sepertinya memang banyak hal yang harus dicubit. Tapi saat mencoba lontarkan ide ini, saya ditimpali lagi seorang teman,"Sekarang ini, untuk berubah, mengajak orang berubah. Jangankan dengan cubitan, Kalashnikov pun kita arahkan ke kepala tidak akan memberi pengaruh apa-apa." Saat temen ini menyebut Kalashnikov saya membayangkan itu tidak jauh-jauh dari bom molotov. Atau mungkin bentuk senjata dari luar negeri yang didaur ulang dari kompor (stove). Ada-ada saja, dan memang terlalu mengada-ada. Walau memang banyak yang pesimis dengan kelebihan dari cubitan. Tapi hingga sekarang saya masih percaya kalau cubitan itu punya manfaat lebih, terbukti sampai sekarang saya tidak berani lagi bernyanyi kalau sedang ada orang mengaji (tapi ini ditambah dengan alasan tidak ingin saya disebut sebagai orang yang tidak punya adab). Tapi, saya belum tahu, juga mungkin karena memang tidak ada wartawan infotainment yang laporkan apakah ada yang sudah mencubit artis yang buang-buang uang untuk kembalikan keperawanan itu. Duh, itu hak dia ya? Kenapa juga saya melamunkan ada yang mencubitnya. [caption id="attachment_185206" align="alignleft" width="250" caption="Belajar saja kejujuran dari anak-anak (Gbr; google images)"][/caption] Begini, sedikit serius memang sebenarnya soal kembalikan keperawanan itu tidak sesederhana soal itu hak dia atawa pun hak siapa saja. Tetapi ini lebih pada persoalan menghargai diri. Kenapa artis-artis tidak semua bisa berpikir daripada buang-buang uang untuk kembalikan keperawanan, operasi plastik yang pasti akan membuang sebagian pundi-pundinya, dipakai saja untuk kuliah tinggi-tinggi. Alah, saya kembali mengada-ada dan malah jadi sok menasehati. Sedikit lebih jauh. Saya kembali mengawang ke istana presiden. Ketika presiden memiliki kekhilafan, ada tidak yang mencubitnya. Sebab yang saya perhatikan dari berbagai photo yang pernah dimuat di koran-koran, terlihat banyak yang terbungkuk-bungkuk kalau sudah di depan presiden. Pun, tangan mereka juga biasanya tergenggam begitu saja, apakah mereka akan berkesempatan untuk mencubit? Juga misal di berbagai perkantoran ada yang bau badannya sedikit berbau kencing tikus, apakah ada yang berani mencubit? Entahlah *Sebutan Aceh untuk ustadz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun