[caption id="attachment_268918" align="alignleft" width="300" caption="Mirip dengan yang pernah saya lakukan (Gbr:Indonesian Wikipedia)"][/caption] Saat itu, di antara jejeran kios yang mirip kotak segi empat dengan ukuran 3 x 4, di Pasar Los kota kecilku, Jeuram. Terdapat seorang penjual kitab-kitab untuk aneuek beuet (santri), berusia kisaran 65 tahun. Namun tidak hanya menyediakan kitab-kitab untuk aneuek beuet, tapi juga ia menjual berbagai buku yang berhubungan dengan keagamaan selain koran-koran dan majalah bekas. Barang yang terakhir ini biasanya dijual untuk nyak-nyak (ibu-ibu tua) penjual sayur untuk membungkus cabe. Karena memang bukan berangkat dari keluarga high class, sehingga untuk kebutuhan membaca, tempat penjual kitab dan koran bekas itu kerap menjadi sasaranku untuk melepas dahaga membaca. Biasanya ke sana sepulang sekolah, tanpa menggantikan seragam sekolah dulu, bahkan tak jarang tanpa makan siang. Membaca berbagai macam buku yang ada di sana, termasuk berbagai koran bekas yang memang ketika itu tidak beredar luas di sana selain yang bekas saja. Karena mungkin perusahaan media masih berpikir bahwa kota kecilku itu bukan pasar yang tepat untuk menyulap korannya menjadi kacang goreng (baca:laris). Makanya, memakan koran bekas dengan berbagai buku agama yang ada di sana, lumayan membantuku juga untuk bisa mengembangkan pengetahuan. Percaya tak percaya, memang memakan koran bekas seperti itu membantuku untuk 'lebih hemat', dalam arti mengurangi porsi makan nasi di rumah. Kan berbahaya untuk kesehatan karena lebih sering membiarkan perut kosong? Memang benar, terbukti, di antara saudara-saudara saya yang sering terkena masalah penyakit yang berhubungan dengan perut cuma saya saja. Kalau saya beralasan dengan logika sekarang--karena dulu saya tidak pernah mencari alasan atau logika apapun terhadap kebiasaan itu--maka saya akan menganalogikan dengan prajurit tempur, jika desing peluru dan kemungkinan luka atau mungkin resiko mati sudah membuatnya ketakutan, saya yakin musuh takkan menghadiahkan kemenangan. Sebab memang kemenangan, tidak pernah ada yang gratis. Menghiba sekalipun pada lawan, justru peluru yang dimuntahkan ke kepala dan kemudian mati sebagai pengecut. Tentu itu sebuah pilihan yang sangat buruk untuk seorang lelaki. Dan, saat itu saya sangat menikmati kebiasaan itu. Kebiasaan menghabiskan waktu di tempat penjual kitab dan koran bekas yang kemudian hari saya kenal nama beliau dengan nama Teungku Piah. Terkadang, sepulang sekolah itu, saya dapati lapak Teungku Piah ini tutup. Belakangan saya tahu, beliau tutup hanya jika tidak ada yang membantunya ketika masuk waktu untuk shalat dan makan siang. Entah kekuatan dari mana, selalu saja saya tidak merasa jenuh untuk bisa menunggu sampai beliau kembali dari warung makan dan membuka lapaknya kembali. Tak ayal, dari sana beliau jadi sangat mengenal saya. Bahkan ketika kemudian saya sudah masuk usia dewasa, saya masih acap ke toko buku beliau, dan masih juga dikenalinya,"Nyoe koen nyeung watee cut seureeng baca suratkaba tuha?" Tanyanya untuk pastikan bahwa saya yang dulu sering bermain ke lapaknya dan membaca koran-koran bekas. Iya, sekarang beliau sudah berhasil membuka toko buku di dekat sekolah SMP satu-satunya di Jeuram itu. Hanya saja, berbeda sedikit, hitung-hitung balas jasa, saya memilih membeli buku-buku yang lebih mahal dan tentunya yang menarik perhatian saya dengan kemampuan rejeki ketika itu. Sebuah kemajuan saya dapati dari beliau. Dan ia memang layak dapati itu. Betapa tidak, dari kebiasaan saya bermain ke lapaknya itu dulu, saya tidak hanya membaca koran-koran dan buku yang ada di sana, tetapi saya juga membaca dirinya. Artinya, keikhlasannya membiarkan saya membaca buku-buku yang beliau jual dengan semua koran bekas dan majalah yang ada di sana, saya kira menjadi sebuah tangga juga yang membuatnya bisa maju seperti sekarang. Saya yakini, ada banyak orang lain yang datang ke sana hanya untuk membaca dan hanya membeli sesekali. Seperti saya sendiri lakukan, sesekali, dengan sisa uang jajan yang biasanya hanya dua ratus rupiah, untuk menepis perasaan tidak enak. Uang itu saya pergunakan juga untuk membeli beberapa koran bekas dan majalah yang ada untuk saya jadikan bacaan di rumah ketika mungkin nanti saya merasa malas untuk ke lapaknya. Entah ini buah dari kesediaan saya menahan lapar untuk membaca di sana, syukurnya di sekolah saya acap muncul sebagai juara kelas dengan rangking yang baik, bahkan pertama. Jadi, saya mendapati 2 keikhlasan di sana. Keikhlasan Teungku Piah untuk saya jamahi jualannya, dengan keikhlasan saya sendiri untuk rutin berkunjung ke lapaknya lengkap dengan kesediaan untuk menahan lapar karena menunda pulang untuk makan. Untuk beliau, buah yang beliau dapati kemudian hari, setidaknya dari yang saya lihat beberapa tahun lalu ketika saya sudah masuk usia dewasa, memang beliau sudah menempati sebuah toko di tempat yang cukup strategis di Jeuram. Dengan barang jualan yang kian lengkap. Memang, keikhlasan itu selalu bisa memberi buah. Tak pelak, ketika shalat saya mencoba ingatkan diri untuk tak pernah lupa membaca ayat,"Qul huwallaahu ahad, Allaahush-shamad..." guna ingatkan diri dengan nama Surat dari al Quran itu, agar selalu bisa ikhlas dengan apa saja yang saya lakukan dan dapati kendati belum sempurna. Juga dengan isi darinya yang mengingatkan saya untuk hanya bergantung pada-Nya. Jakarta, 25 Sept 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H