Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menelusuri Dada Laila

8 Mei 2010   17:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:19 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan lekuk tubuh karena ia hanya penutup tulang rapuh. Tidak juga tentang tempat [caption id="attachment_136674" align="alignright" width="234" caption="Laila. Tubuhmu rapuh, angkuhmu teguh"][/caption] berteduh karena perjalanan tidak izinkan keluh jenuh.

***

Hasan malam itu harus pulang tengah malam. Tadi siang rupanya ia kecelakaan. Ganja yang bukan narkotika, tetapi sebutan Aceh untuk dongkrak mobil yang hampir remukkan kakinya membuat ia harus dibawa lari ke Ulee Jalan, 60 Kilometer dari lokasi kerjanya di Alue Bilie dan Seunagan. Kebetulan gampoeng yang dituju itu tinggal Tabib Wen. Dukun patah yang sudah sangat dikenal di Nagan Raya. Lelaki tua yang memiliki cara unik untuk obati masyarakat yang terkena musibah patah tulang. Cara yang dipakai kadangkala hanya dengan mendudukkan pasiennya di tempat yang berjauhan dengannya. Sedang ia hanya memegang dan mengelus oen sikee (daun pandan), tetapi akibat dari elusannya di oen sikee malah membuat pasien bergerak meronta sendiri seiring dengan cepat lambatnya elusan yang dilakukan tabib ini. Pun, sering juga kalau ada pasien yang patah kaki. Jika harus dirawat inap, setelah beberapa hari proses pengobatan, pasien akan diminta untuk berlari-lari di lumpur sawah. Meskipun dengan perasaan ngeri, biasanya pasien tetap saja akan lalukannya. Bagaimana tidak, dalam perawatan tabib ini jelas tidak dikenal rontgent dan sejenisnya untuk bisa melihat ke dalam. Tidak ada kepastian seperti apa tulang-tulang yang ada di dalam, tetapi harus dilakukan atau ia akan hentikan pengobatan. Pasien yang takut biasanya memang tidak akan pernah sembuh. Karena tabib ini memiliki pantangan untuk dibantah. Juga beberapa pasien, akan disuruh untuk memanjat bak limeng (pohon belimbing) setinggi 6 Meter di belakang rumah. Perintah yang juga tak kalah mengundang rasa ngeri. Apakah itu caranya untuk satukan kembali tulang yang patah? Wallahu a'lam. Sebab meskipun peramah, ia tegas dan tidak banyak bicara. Ke sana pula Hasan di bawa. Sampai ia harus pulang sampai larut malam. Dengan kondisi demikian, pasti ia tidak akan tahu apa saja yang sudah terjadi di rumahnya. Seperti ia juga tidak tahu buah hatinya baru keluar dari neraka siksa ibu kandungnya.

***

Kenapa seorang perempuan menjadi beringas, menjadi telengas? Tidak sekedar persoalan nasib. Dan itu dituturkan perjalanan perempuan yang perlahan sudah memiliki tubuh kian berisi, berlemak dengan sorot mata yang terkadang terkesan ganas. Perjalanan harinya adalah perjalanan caci maki, terkadang sasarannya adalah anak sendiri yang kata orang sebagai buah hati. Apakah kedua anaknya benar-benar memiliki tempat di hati, pada seorang ibu yang memang tidak terlahir sebagai peri? Tunggu, Laila masih dengan segenap catatan caci maki yang ditulis kedua anaknya di hati. Walaupun mereka mencatatnya dengan segenap rasa ngeri. Ramat sudah menjadi siswa kelas III SD, dan Jannah masih belum genap 5 tahun. Ramat masih berlangganan kalimat yang sama sekali bukan kalimat bijak berisi petuah. Justru dari lidah ibunya sendiri ia kerap disebut sebagai rameujadah atawa haram jadah. Sedangkan Jannah yang sama sekali tidak bisa membaca aksara apa-apa, harus membaca dengan mata kebingungan saat ibunya menyebut perempuan kecil ini dengan kata-kata seperti "lonte" sampai "aneuek kaphee" tetapi hati bersih seorang bocah tetap bisa menangkap makna itu semua bersama bening hatinya. Jannah kecil harus menerima semua perlakuan itu. Jelas saja, karena ia tidak bisa mengganti ibu karena toh jelas cuma wanita bernama Laila itu yang sudah bersusah payah melahirkannya. Hayalan kecil Jannah kerap berisi lamunan, andai saja ia memiliki ibu yang penuh dengan cinta, tentu ia tidak perlu terus menerus bersimbah air mata. Kalau saja ia memiliki ibu yang tidak hanya mengukur dan mencintai keluarga hanya dari harta mungkin ia tidak perlu merasakan luka. Luka di hati yang seharusnya sedang menikmati indahnya kesempatan untuk bermanja yang kelak memang harus ditanggalkan oleh pengaruh usia.

***

"Kesini cepat." Ujar Laila memanggil Jannah yang sedang bermain dengan boneka-bonekaan yang ia

[caption id="attachment_136684" align="alignright" width="263" caption="Andai cinta tak kenal mati. Tetapi keabadian dalam hal apapun tetap milik Tuhan. "][/caption]

buat dari bantal guling kecil yang tidak bersarung dengan warna yang agak menghitam. Mungkin bocah ini sedang asyik dengan mainannya disertai lamunan seorang gadis kecil yang mungkin sedang membayangkan punya anak, sampai suara ibunya tidak terdengar.

"Rameujadah, kesini cepat!" Teriak Laila dengan suara yang lebih keras. Suara yang membuat lamunan anaknya menjadi buyar. Dengan wajah takut, ia bergerak ke arah ibunya.

Di tangan Laila, sebuah sisir kecil dari bambu yang sering dikenal di Aceh dengan nama sugoet trieng sudah disiapkan untuk mencari kutu di kepala anaknya. Sedang di sampingnya terlihat sebuah piring kecil, cupee, yang berisi minyak kelapa.

Setelah Jannah duduk di paha ibunya. Agak kasar Laila menarik kepala Jannah yang saat itu sudah menjelang mengakhiri masa balita, dalam arti sudah hampir 5 tahun sudah usianya. Diambilnya minyak kelapa yang sudah dipersiapkan tadi. Diusap-usap ke kedua tangannya, dilumuri ke kepala gadis kecil itu.

Bisa diduga itu dilakukan untuk lebih memudahkan sisir yang bermata rapat itu mudah digerakkan di rambut gadisnya yang sering diupa (keramasi) dengan santan basi. Santan yang sudah diendapkan beberapa hari menjadi bagian dari cara perempuan desa untuk merawat rambut, walaupun menebarkan bau khie (busuk) tetapi tetap menjadi pilihan mereka karena diyakini bisa menghitamkan rambut dan menyuburkan juga.

Setelah rambut Jannah rata dilumuri minyak kelapa, mulai sisir yang tadi berada di tangan bermain di sela-sela rambut anaknya. Beberapa kali Jannah meringis. Lagipula, menyisir dengan sugoet trieng itu akan terasa sakit jika tidak dilakukan dengan pelan dan lembut karena demikian rapatnya mata sisir.

[caption id="attachment_136690" align="alignleft" width="215" caption="Ibu, kau yang sudah lahirkan aku, ingat itu! [Ilustrasi: Unicef"]."][/caption]

"Rambutmu berbau sekali, pesing begini. Campur aduk dengan bau santan basi." Ucap Laila sambil tetap menyisir rambut putri semata wayang, ditambah bentuk hidung yang sudah berubah seperti orang sedang menahan nafas.

Sepertinya, ketika seseorang sudah terlalu banyak bicara, terlalu suka bicara memang tak jarang bisa berucap kalimat yang tidak ia sadari sudah merendahkan nilainya sendiri. Terbukti ucapan Laila jelas sekali menunjukkan penegasan akan hal itu. Sudah ia sendiri yang memang bertanggung jawab atas putrinya ini, memandikan dan merawatnya termasuk upa oek. Tetap juga ia mengeluarkan kalimat demikian tanpa melihat terang makna kata-kata yang sudah ia semburkan.

Karena tidak tahan oleh cara Laila menyisir rambut untuk mencari kutu di kepalanya yang sudah lembab dengan minyak kelapa, terasa kasar. Jannah minta dihentikan.

"Sudah Mak, sakit nih!" Ucap Jannah.

"Aku kau atur. Untuk urus sendiri saja kau belum bisa. Jangan banyak bicara."

"Tapi sakit, Mak."

"Bret mak kah! Leue that haba aneuek nyoe. (kemaluan ibumu! Terlalu banyak cakap kau)." Seperti biasa, kalau sudah mendengar nada bicara ibunya demikian, Jannah pasti akan memilih untuk diam saja. Sebab jika masih bersikeras juga, Ibu tercinta ini akan dengan ringan mengambil apa saja yang ada di dekatnya untuk dipukulkan ke tubuhnya. Mau kena di mana saja tidak terlalu dipedulikan ibunya ini. Bahkan beberapa hari lalu, sebuah batu sebesar genggaman tangan orang dewasa dilemparkan Laila ke kaki Ramat, mengenai mata kaki bahkan sampai sekarang tidak bisa digunakan berjalan dengan baik. Oleh sebab sakit yang tidak ringan. Batu itu dilempar cuma karena Ramat tidak datang dan terlihat pura-pura tidak mendengar saat Laila memanggilnya

Demikian pula yang harus dirasakan Jannah. Berkali-kali menggeliat sambil meringis menahan sakitnya cara ibunya menyisir untuk mita gutee (cari kutu), membuat Laila tidak bisa berlama-lama mengizinkan kesabaran dan keluwesan sikap seperti umumnya perempuan bersamanya. Sisir terbuat dari bambu yang keras itu sudah dipukulkan ke kepala anaknya yang masih kecil ini. Terang saja gadis kecil ini teriak keras, menangis sambil pegangi kepalanya akibat kerasnya pukulan Laila.

"Nangis terus. Kubenturkan kepalamu ke dinding nanti!" Jurus ancaman Laila mulai keluar. Jannah kecil tidak serta merta terdiam karena ia tidak bisa menipu diri kalau pukulan sisir di kepalanya memang terasa sakit. Maka ia terus saja menangis.

Laila kian berang melihat tangisan anaknya itu. Dengan beringas ditariknya singlet yang dikenakan Jannah.

"Bangun!" Seakan tersihir, Jannah bangun. Laila menariknya ke arah sumur. Terlalu kuat tarikannya sampai Jannah kesulitan bernapas karena leher yang terjepit leher singlet. Tarikan itu sudah menjadi hentakan yang jelas tidak disertai perasaan. Jannah terjatuh, lutut mengenai tanah bekas adukan semen yang memang masih keras oleh sebab semen tersisa yang mengering. Sisa semen yang sudah hampir 5 tahun di sana, tidak hilang kalau tidak dihancurkan dengan palu. Luka terkena semen itu membuat lutut kecil itu terluka, perih sepertinya hatinya yang juga perih. Makin keras saja tangisan Jannah. Tidak dipedulikan samasekali oleh Laila.

Sampai ke sumur.

"Diammmmmmm! Mau kusambit badanmu dengan tali timba, hah?!?" Juga tidak merubah volume tangis Jannah.

[caption id="attachment_136677" align="alignleft" width="191" caption="Semoga semua itu tidak menghalangimu mengenal cinta"][/caption]

Ctar!

Tali itu sudah mengenai tengkuk gadis kecil ini. Semakin lengkap rasa sakit yang menderanya. Perasaannya benar-benar sudah mirip berada di neraka. Dilakukan ibu sendiri, juga tidak ada tempat minta tolong. Ternyata memang kekejaman bukan hanya bisa dilakukan dalam film-film tentang ibu tiri, tetapi juga bisa dilakukan oleh ibu kandung sendiri.

Tanpa melepas pakaian anak. Selanjutnya bertimba-timba air sudah disiram dengan kasar ke kepala gadis kecil yang lahir sebagai buah tanpa cintanya bersama Hasan. Siraman kasar demikian cukup bisa membuat tangis Jannah terhalang dan bahkan ia megap-megap sendiri. Setelah Laila merasa kelelahan menimba air dari sumur demikian banyak, murni bukan karena niat olahraga, baru ia hentikan mengguyur perempuan kecil di depannya.

Baru dilepaskan pakaian si kecil ini juga dengan menyentak sampai Jannah kembali merasa sakit di sisi tulang sayapnya, di bawah pundak sisi belakang. Luka di lututnya masih dirasa perih setelah terkena siram air. Meski tidak sampai ditambah perih dengan sabun, karena Laila tidak menyabuni gadis kecilnya.

Mirip lelahnya Laila menimba air. Seperti itu juga lelahnya Jannah oleh deraan kemarahan ibunya. Maka tidak lama ia dibaringkan Laila di tempat tidur, ia sudah pulas bersama mimpinya sebagai bocah kecil. Sepertinya itu lebih baik untuknya daripada ia harus terus-menerus didera pukulan dan makian yang tak hanya sakiti badan kecil yang makan saja sering cuma sekali sehari, tetapi juga sampai ke hati yang belum mampu diubahnya menjadi puisi.

———— To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku Sumber Gambar: di sini dan di sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan 18. Istriku Jalang dan Lelaki Malaikat 19. Ibu Anakku: Perempuan Bergilir 20. Lepas Setubuh Subuh 21. Darah Pelanggan Raja Singa 22. Perempuan Itu tak Berbaju. 23. Anak Lapar dan Perempuan Sangar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun