Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meriam Trieng untuk Malam Lebaran

10 September 2010   06:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:19 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_254604" align="alignleft" width="300" caption="Kembali ke alam (Gbr: antara)"][/caption] Dengan modal bambu berkisar panjang satu meter, dengan sedikit minyak tanah yang diambil dari dapur, saat malam berbarengan dengan takbir yang berkumandang, "Dhuarrrrr..." ledakan demi ledakan membahana bahkan sampai ke kampung tetangga. Iya, itu cerita ketika meriam bambu yang oleh masyarakat Aceh acap disebut dengan meuriam trieng atawa beudee trieng masih populer di kalangan anak-anak. Dan tentunya trend itu akan amat sangat sulit untuk bisa diketemukan sekarang, karena itu hanya ada di era 80-an atau paling tidak menjelang pertengahan 90-an. Meski sebagian dari anak-anak itu nanti saat pulang harus ikhlas diseurapa lee ma (dimaki ibunya) karena mungkin minyak yang dipergunakan sebagai amunisi meriam itu adalah jatah untuk memasak, tetap juga kegembiraan saat menyulut lobang meriam yang berukuran sebesar ujung kelingking dan sudah diberikan sumbu terlebih dahulu itu tidak berkurang. Terasakan kebanggaan yang begitu membuncah ketika meriam yang dimilikinya bisa menimbulkan suara yang melengking. Tak pelak, berbagai cara ditempuh untuk bisa membuat meriam itu bisa bersuara besar dan lantang. Salah satunya adalah dengan mencampur dengan garam atau bahkan karbit. Memang, permainan yang satu itu tidak kalah berisiko dengan mercon. Tetapi setidaknya belum pernah terdengar adanya rumah terbakar karena permainan ini. Paling, hanya luka bakar sedikit karena api yang disulut keluar dari lobang. Apalagi memang, sebelum disulut untuk diledakkan meriam alami ini harus dipanasi terlebih dahulu dengan cara dipancing dengan membakar sumbunya sedikit dan kemudian dihembus lagi. Saat seperti ini pula api yang dihembus itu malah tersulut lagi keluar yang bisa dengan cepat menyambar baju empunya meriam jika kebetulan berbahan mudah terbakar, atau paling kurang membakar rambut, sedikit. Atau juga membuat alis terbakar, dan kebetulan yang terakhir ini pernah saya alami sendiri. Berbeda halnya dengan mercon yang kemudian menggantikan pamor meriam bambu itu. Mercon, seringkali mengundang bahaya lebih besar, bahkan dari sejak proses pembuatannya seperti yang pernah dilansir beberapa media. Maksudnya karena bahan-bahan yang dipergunakan untuk meracik memang memiliki kekuatan ledak, ketika pembuatnya sedikit saja tidak hati-hati bisa berakibat ledakan besar yang bisa berakibat pada kematian. Taruhlah dalam proses pembuatan, bisa dilakukan dengan baik tanpa menimbulkan resiko yang membunuh pembuatnya tetapi dari berbagai tayangan berita di televisi dan reportase koran-koran, tidak sedikit pengguna mainan tersebut yang menuai masalah berupa kecelakaan bahkan sampai adanya rumah yang terbakar. Menyimak efek mercon itu, saya berpikir minimalis saja untuk menawarkan mainan berupa meriam bambu saja. Tapi harus diakui alternatif terakhir ini juga tidak mudah karena tidak semuau tempat bisa dengan mudah bisa didapati bambu yang bisa diolah untuk meriam. Hanya saja, paling tidak ini menjadi ladang bisnis jika kemudian pamornya kembali naik dan diminati, bukankah mereka yang berada di desa-desa yang memiliki bambu bisa mengirim dan menjual meriam bambu ke tempat mana saja yang ada peminatnya. Tinggal orang tuanya saja mengarah anak-anakagar meriam alami ini tidak sampai membawa dampak membahayakan. Selain membimbing anak untuk tidak menyulutnya berdekatan dengan rumah penduduk. Sebab, jika yang terakhir ini bisa membuat orang tua anak itu sendiri disumpahserapahi penduduk yang tidak suka dengan suara ledakan. Sebab, salah satu kemungkinan juga, seperti salah satu teman main saya waktu kecil dulu, meriam kebanggaannya karena selalu bisa bersuara paling besar dari semua meriam anak-anak lain, satu hari harus menahan airmata ketika tanpa tersadarinya, ia menyulut meriam di dekat rumah salah satu polisi yang menjadi tetangganya. Sebab, kejadian selanjutnya, polisi ini mengambil parang dari dapur rumahnya dan membelah-belah meriam kebanggaan teman ini tanpa ba bi bu. Terakhir, setidaknya kembali ke meriam bambu sebenarnya masih jauh lebih baik daripada mercon yang katanya berharga bahkan sampai ratusan ribu. Terasa dibakar saja uang yang susah payah dicari orang tua. Bandung, 10 Sept 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun