Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tanpa Celana

4 April 2010   10:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:00 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepala yang terlalu sering tengadah akan sangat sulit untuk diajak untuk melihat ke bawah. Hingga seribu duri menelusup dalam dagingnya, membusuk dan membunuhnya [caption id="attachment_110197" align="alignleft" width="300" caption="Sebaiknya tidak lupa pakai celana, dan tidak menarik celana orang-orang hanya karena berpikir celananya berbau"][/caption] Andai kita semua pernah duduk di tikar pandan dengan satu saja guru ngaji, barangkali dunia ini bersih dengan perdebatan. Jika saja kita memiliki satu saja guru yang mengajari kebenaran, mungkin tidak ada lagi yang harus diperselisihkan. Tetapi, ini juga ternyata belum pasti. Ya jelas, makanya saya pergunakan bahasa mungkin dan kata barangkali. Jadi teringat, sebelum jatuh cinta dengan buku-buku agak berat (karena belum pernah menemukan buku yang tidak sanggup saya angkat). Saya menyukai buku-buku ringan, karena kalaupun ditempatkan di timbangan, mungkin hanya ada beberapa ons saja. Ya, buku ringan itu hanyalah buku dongeng. Yang menjadi tokoh utama dalam buku yang saya baca itu, Mulla Nashruddin yang belakangan saya tahu merupakan seorang sufi. Kemudian juga Abu Nawas. Sebelumnya, jauh hari sebelum saya mengenal kedua tokoh cerdik tersebut. Kancil menjadi tokoh favorit.Bahkan saat disebut saya sebagai sosok sebagai kancil, perasaan begitu bangga. Sama sekali lupa kalau kancil itu hewan. Sedangkan ia cerdik itu karena kebetulan saja ada orang cerdik, entah siapa, yang bisa mengarang cerita kancil sehingga anak-anak ikut meyakini bahwa kancil itu cerdas, cerdik dan hebat. Macan saja yang menjadi musuh bebuyutan selalu dengan apik bisa dikecohnya. Dulu, ketika kecil itu, saya merasa begitu ringan saja membaca cerita tentang mereka. Iya, karena ketika itu tidak pernah tahu, ada apa di balik cerita. Yang saya tahu, itu cerita ya cerita. Tidak lebih. Tetapi, seiring perjalanan waktu, masuk ke dunia yang "kata orang" sebagai dunia kedewasaan. Kok cerita tentang kedua sufi itu terasa begitu berat. Sindiran yang disampaikan dalam kejahilan mereka justru terasakan benar-benar membutuhkan energi lebih untuk pahaminya. Sampai mencurigai diri sendiri, jangan-jangan semakin banyak buku yang saya baca justru tidak membuat saya pandai dan cerdas (saya tidak sepakat jika cerdas disamakan dengan pandai). Maka kemudian, hingga memutuskan untuk menulis renungan tentang kecerdikan itu saja. Entah [caption id="attachment_110200" align="alignright" width="300" caption="Jangan hewankan manusia"][/caption] kenapa lebih tertarik untuk memilih menjadikan kancil saja sebagai bahan 'gunjingan' saya. Mungkin karena memang pikiran saya saja masih belum begitu matang, maka kemudian mengambil keputusan itu. Untung, saya tidak merasa sebagai topi yang harus selalu bertempat di atas kepala. Sehingga saat harus bicara yang ringan-ringan saja juga, tidak menjadi sebuah persoalan yang berat buat saya. Aduh, maaf, yang ringan-ringan jelas tidak berat, tenyata. Sekali lagi maaf. Iya, kancil itu sedemikian kuat masuk dalam pikiran. Tapi, sebentar, sepertinya tidak saja anak-anak yang begitu saja meyakini bahwa kancil itu cerdas dan kemudian bangga jika dipuji dirinya cerdas seperti kancil. Kita yang selama ini begitu sering berbusung dada hanya karena beberapa tumpuk buku yang pernah tergeletak di depan, kemudian usia juga bukan lagi ditulis dengan angka belasan, masih sering bangga jika disebut cerdas seperti kancil. Kita melihat pujiannya. Luput untuk membuka mata, melihat kancil itu siapa? Atau, bisa jadi karena kita juga sudah lupa nama-nama yang mana saja yang sudah disepakati bertempat di kelas hewan. Sampai kancil juga disederajatkan dengan manusia, dengan kita. Sudahlah kalau begitu, jika hari ini kita masih juga biarkan diri sendiri berbangga hanya karena disebut kancil. Tapi sebelumnya, semoga tidak ada dari kita yang mengatakan orang-orang di sekeliling kita sebagai kancil hanya sekedar untuk mendapat penghargaan dari mereka. Sebab penyebutan itu sendiri sudah merupakan sebentuk kekejaman yang membuat mereka terpuruk dalam kebanggaan. Sampai, saat kita sedang berjauhan dengannya. Ia berdoa dengan kalimat yang kian aneh:"Tuhan izinkan aku menjadi manusia." Lalu minta menjadi Nabi, menjadi malaikat sampai berakhir juga meminta dirinya meminta menjadi Tuhan juga. Sampai Dia murka, dan Dia bentuk lagi ujudnya menjadi lebih rendah dari manusia. Terhenti akhir hidupnya, hanya sebagai makhluk tidak bercelana. Terinspirasi oleh: My Daddy Sumber Gambar: Di sini dan di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun