Beujioeh bala, ya ya ya Rabbana
(Terj: ya Rabbana, ya Tuhan kami, tolonglah kami ini hidup di dunia, ampuni segala dosa-dosa kami. Jauhi segala marabahaya dan bala, ya Rabbana)
Setiap meresapi dan memahami Bahasa Aceh akan langsung merasakan suara ajakan yang lebih menyentuh daripada lagu-lagu cengeng tentang cinta. Mengajak untuk melihat diri sebagai pendosa, untuk kemudian mengakui dosa dan bertaubat. Sebuah ajakan yang sama sekali jauh dari aroma menggurui.
Lam padang mahsya luah meuhalak
Meuribee thoen jak, meuribee thoen jak tapasang unta
Uroe that tutoeng, kayee tan sibak
Di ateueh utak, di ateueh utak, uroe meunyala
(Terj: Di padang mahsyar luas tak terkira. Beribu tahun perjalanan menggunakan onta. Panas matahari begitu panasnya, tiada satupun pepohonan. Di atas kepala, matahari itu menyala).
Terasa sekali, pori-pori dada seakan terbuka serasa sebuah goa. Sehingga nyanyian itu menggema dan bersahut-sahutan di kalbu. Itu yang menjadi kelebihan penyanyi yang juga seorang guru madrasah ini. Selain ia dikenal sebagai penyanyi yang tidak pernah tertarik untuk meng copy-paste irama-irama lagu luar baik dari India atau mana saja seperti yang kerap dilakukan pedangdut.
Tak heran, pada berbagai show yang ia lakukan bersama grup bandnya, Kande Band, selalu saja mampu menarik minat masyarakat Aceh untuk beramai-ramai bisa berhadir. Sekalipun hujan, masyarakat tetap dengan setia memelototi sambil membuka telinga lebar-lebar atas aksi panggungnya.
***