Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Striptease

16 Juni 2010   06:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:30 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_168531" align="alignleft" width="217" caption="Ketololan bukan soal tidak tahu apa-apa (Gbr: Photobucket)"][/caption] Liukan tubuh dengan pakaian yang kemudian entah kemana. Jengkal tubuh yang leluasa dipelototi, menjadi tontonan yang mendebarkan sekian banyak lelaki. Iya, ini obrolan tentang lelaki. Boleh jadi tulisan ini bisa disebut tulisan yang tidak terlalu penting, mengingat bahasan yang diangkat adalah sesuatu yang menjadi bagian dari selera purba yang entah oleh kekuatan mana, masih bertahan jauh hingga ribuan tahun di saat dinosaurus saja punah tak bersisa. Selera purba yang bertahan hanya dalam keteduhan celana-celana beragam bentuk, dengan aroma yang juga beragam. "Jangan sebut itu sebagai sebuah masalah moral, saudaraku. Hal itu tak perlu dilarang. Karena itu tidak lebih dari sekedar hiburan." Ungkap beberapa mereka yang dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai manusia yang maha paham tentang makna kebebasan."Jika itu kesalahan, maka kesalahan itu relatif seperti halnya kebenaran yang juga relatif."

***

Jangan membantah mereka, sebab membantahnya tidak akan membuat mereka keluar dari tempurung kepalanya yang mungkin sengaja diciptakan Tuhan dari tempurung kelapa. Cuma, tempurung kelapa masih lebih baik, dari satu sisi, karena di dalamnya masih berisi air yang begitu bening dan malah bisa menghilangkan dahaga. Sedangkan manusia yang bertempurung kepala seperti itu, jangankan diharap untuk memberi kesejukan untuk dunia, justru mereka cipratkan kotoran got yang mereka minum serupa air syurga saja. Kotoran got itu terlihat mereka sebagai air dari syurga karena memang mata mereka sudah sedemikian terbutakan oleh sekian teori tentang "kebenaran yang relatif." Dari pemahaman bahwa kebenaran itu relatif selanjutnya membawa mereka pada keyakinan lebih lanjut bahwa Tuhan saja yang memiliki kebenaran. Karena tempat Tuhan berada di tempat yang tidak bisa disentuh, maka masuk akal ketika seorang manusia terus bergelimang dengan dosa dan kesalahan,"Toh, Adam saja yang langsung diciptakan dengan tangan Tuhan, masih bisa melakukan dosa. Apatah lagi saya yang belum pernah melihat wujud Tuhan itu seperti apa." Mereka ini enggan beranjak untuk mengingat ulang, pelajaran ketika mereka masih di Sekolah Dasar, bahwa kuman takkan pernah memiliki alat apapun untuk bisa melihat seluruh langit. Apalagi yang berada di balik langit. Nah, alasan-alasan demikian itu justru dijadikan alasan mereka untuk membenarkan semua kesalahan. Syahdan, beberapa yang masih mencoba bicara bahwa masih ada kebenaran mutlak, hanya menjadi sasaran caci-maki oleh orang-orang yang bahkan sudah tidak kenal namanya sendiri.

***

Striptease itu adalah buaian yang melenakan sekian lelaki jalang yang keesokan hari berjalan di jalanan yang tak terang. Bukan matahari yang sudah enggan memberi terang, tetapi oleh mata mereka sendiri yang lebih tertarik pada liukan tubuh murah seharga beberapa rupiah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun