Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Makanan Tradisional, Jangan Cari di Mall

20 Maret 2010   09:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:18 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_98299" align="alignleft" width="260" caption="kapan makanan tradisional negeriku bisa terlihat berharga ya? (Gbr: Google)"][/caption] Berawal dari perjalanan menikmati akhir pekan di Cihampelas Walk. Masuk ke dalam mall, melihat-lihat makanan dan minuman yang dijajakan (tanpa niat membeli karena alasan klasik, kere). Terjadi obrolan dengan seorang gadis cantik yang kebetulan sedang menemani saya menghabiskan waktu di kawasan mall yang sangat dikenal di Kota Bandung ini. Nah, dari obrolan yang terjadi dengannya, terbetik sebuah tanya:"kenapa sekarang ini makanan yang berbau barat sepertinya lebih diminati?" Pertanyaan itu muncul karena memang hampir tidak ada satupun pemandangan yang menunjukkan keberadaan makanan-makanan tradisional Indonesia, kecuali cafe kecil saja dengan tempat yang benar-benar kecil, terkesan tersisih daripada kafe lainnya yang yang beraroma barat berdiri dengan gagah dan luks. Popcorn, iya makanan itu yang pertama sekali menjadi makanan awal yang kami saksikan dan obrolkan. Saat beberapa tangan warga kota ini--yang berada di Ciwalk--terlihat memegang makanan ringan ini. Kenapa makanan tradisional kian tersisih saja dan seperti begitu mudah tergeser dengan  makanan luar seperti itu? Padahal perubahan selera terhadap jenis makanan, sejauh ini belum menunjukkan sebuah sinyal bahwa mampu mengubah cara pikir bangsa ini. Keprihatinan ini muncul karena melihat kondisi betapa tempat seperti untuk warung-warung nasi uduk, [caption id="attachment_98301" align="alignright" width="300" caption="makanan tradisionalku, tunggu aku jadi pengusaha (Gbr: Google)"][/caption] nasi kuning dan berbagai makanan tradisional negeri ini hanya bertemmpat di lokasi-lokasi kumuh. Seperti terpinggirkan dan seakan tidak layak bertempat di mall setenar Ciwalk ini sebagai permisalan. Yah, sebagai lelaki yang tidak punya modal besar untuk mendirikan mall dengan food court megah untuk makanan-makanan tradisional, sejauh ini saya hanya bisa menge;uh dulu, tidak tahu untuk beberapa puluh tahun ke depan (dengan tetap berharap sekalipun terlihat lebay--seperti bahasa ABEGE--)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun