Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Orgasmus

17 Januari 2010   18:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:24 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_55909" align="alignleft" width="300" caption="Lelaki masih bisa mencintai dengan sebenarnya ketika engkau bisa mendengar dengan baik setiap kalimatnya, merekapun juga akan tetap mendengar (Gbr: Google)"][/caption] Entah bisa kau rasakan bibirku yang masih basah, mencoba berbisik di sisi telingamu. Hanya mencoba perdengarkan engkau, bahwa ada banyak pelajaran cinta yang belum terbaca. Tanyakanlah pada mereka yang memilih mencintai dengan sepenuh hati, aroma keringat serasa bau kesturi syurgawi, benarkah bahwa itu tidak sekedar mimpi? Ketika engkaupun sudah merasa cinta seperti itu, engkau akan lebih leluasa sandarkan rambut indahmu di dadaku yang masih cukup bidang. Kokoh mendekapmu dalam pelukan melebihi kehangatan matahari pagi. Sekaligus kuasa menyejukkan melebihi tetes embun. Berikan tanganmu, untuk kuusapkan ke dadaku. Kau akan melihat, ketika seorang lelaki mencintai dengan hati. Maka sentuhan tanganmu menjadi sayap-sayap malaikat yang akan membawa kita menuju istana penuh cahaya, masih bertetangga dengan syurga. Kelak, setelah waktu kematian tiba. Langkah kaki kita takkan butuh jalanan yang lebih panjang untuk ditapaki. Karena syurga adalah bangunan yang pernah menjadi tetangga istana kita. Entahlah, malam ini aku tidak tahu. Apakah basah bibirku tadi mengenai kuping indahmu. Ataukah, desah angin usil telah lebih dulu mengeringkannya seperti batu di sahara beku. Aku memintamu untuk bunuh diri. Tikamkan saja semua pedang, parang, dan semua yang bisa kau tikam ke tubuh indahmu. Biarkan saja semua menjadi luka. Karena luka itu hanya ada dalam pandangan mata saja. Sebenarnya dalam aliran darah itu, terdapat berbagai puisi indah yang akan kita pajang di semua ruang rumah yang kita bangun.

***

Langit. Berikan penegasan pada mereka yang sedang menatap seluruh inci tubuhku yang tak berseragam ini. Letakkan tanganmu di kepala mereka untuk hanya melihat bagian dadaku. Dan aku tidak perlu gerakkan tanganku hanya untuk menutup kemaluan. Karena tangan itu sedang kubutuhkan untuk memetik beberapa dedaunan syurga untuk kutuliskan seribu puisi cinta. Sebab, aku berani angkuh untuk katakan, sekian juta penduduk bumi telah gagal memahami cinta. Sehingga kemarahan, kebencian, sinisme, sadistik menjadi cerita pagi saat menyambut matahari. Tertulis terang di berlembar-lembar kertas yang tak bisa dimakan rayap dalam waktu seketika. Kegagalan itu telah membuat mata lelaki hanya tertuju ke arah selangkangan wanita-wanita disekitar mereka. Tidak ada yang bisa menatap dada indahnya, selain gundukan yang hanya diperuntukkan untuk birahi.

***

Langit. Catatlah di setiap jengkal awan, di tubuh gemulai gemintang, di lekuk pesona rembulan. Aku tidak sedang bersenggama dengan semua keindahan. Tetapi menjelaskan keindahan dengan cinta. Dengan pena yang baru saja kuambil dari reranting malam, meski mereka tak bisa melihat ayunan penaku. Aku tidak memiliki banyak permintaan dalam ketelanjanganku seperti ini. Selain berharap, semua kejujuran masih dipandang berharga. Ketulusan masih mendapat tempat, tidak untuk diletakkan tersembunyi di balik selangkangan. Dan kerendahan hati masih terbaca sebagai bagian titah Tuhan yang masih tetap berharga kendati untuk itu aku harus terus telanjang. Dalam kata yang aku sendiri belum begitu yakin, akan terbaca mereka ataukah tidak. Apakah kekasihku akan memahami ini semua, ataukah hanya akan menjadi seperti cerita peri tidur yang membuat ia ikut tertidur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun