Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kasta Ikan Asin

11 Juni 2010   14:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:36 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_164576" align="alignleft" width="268" caption="Makanan murah jauh lebih berharga ketika bisa membentuk pribadi yang berharga. Daripada makanan berharga mahal tetapi membentuk pribadi yang berharga murah (Gbr; detik.com)"][/caption] Dulu, ikan asin disebut-sebut sebagai jenis makanan orang-orang miskin. Hari ini justru ikan asin sulit terbeli oleh orang-orang miskin.

***

Anggap saja ini catatan tidak penting. Apalagi karena ini memang rekaman masa kecil saya pribadi. Saya cuma ingin merenungi ulang saja ketika dulu saya masih sebagai seorang anak yang bermulut bau ikan asin. Setiap hari ditugaskan ke peukan los Jeuram, di gampoeng saya, Jeuram, dengan daftar belanja nyaris tak pernah sepi dengan ikan asin. Saat itu peukan itu belum berdiri sampai 2 tingkat seperti sekarang. Ingatan pada ikan asin itu berasosiasi pada banyak hal. Ada nilai hidup, perubahan dan berbagai keunikan perjalanan dari hidup itu sendiri. Pertama, tentang peukan los yang dulu sering saya kunjungi untuk belanja ikan asin tadi. Ketika itu tempat tersebut masih lumayan bisa menjadi tempat siapa saja untuk berjualan. Paling, per hari mereka yang menggelar lapak dagangannya dari jenis sayur-mayur sampai ikan asin, kareng (teri), udeueng sabee (udang halus kering, sabu) meski di tempat dengan wadah hanya berupa bahan sederhana saja. Tetapi, tidak peduli bermodal paling kecil sekalipun sampai cuma bisa menjual labu saja. Namun mereka bisa berjejalan di sana, sama-sama mencari rejeki. Saya menyaksikan itu sendiri lebih dua puluh tahun yang sudah berlalu. Sekarang, dalam rekaman ingatan 3 tahun terakhir. Pasar megah yang berdiri di kota kecil itu hanya bisa menjadi tempat mangkal pedagang yang memiliki modal lebih kuat. Dengan kisaran kontrak dalam angka jutaan. Pelan, yang bermodal kecil bergeser, entah kemana sudah, wallahu a'lam. Jika memaksa untuk tetap bisa berjualan di luar itu, otomatis akan bersentuhan langsung dengan jalan lintas kabupaten (Nagan Raya). Dan, pilihan itu jelas beresiko. Sebab, Satpol PP walaupun cenderung memiliki taraf hidup tidak terlalu [caption id="attachment_164577" align="alignright" width="261" caption="Menu Aceh: Gulee oen paku (Gbr: wordpress)."][/caption] jauh dari mereka yang bermodal kecil ini. Namun, polisi penggerebek itu bisa seketika datang dengan wajah sangar untuk mengusir. Tanpa berani berharap, mereka akan berkesempatan untuk berpikir kalau anak-anak pedagang kecil ini butuh makan, pakaian dan biaya untuk pendidikan. Entahlah, menulis ini saja hati saya sudah merasa sedemikian nyeri. Kedua, ikan asin itu memang menjadi menu yang paling sering saya lahap bersama oen paku (pakis). Oen paku itu menjadi makanan yang memang lazim dikawinkan dengan ikan asin. Sedikit kekurangan oen paku, walaupun ini jenis sayur (mungkin hanya di Aceh), namun mengkonsumsi dalam jumlah sedikit berlebihan saja berisiko membuat perut kembung. Saya sendiri sering harus meringis meskipun tidak banyak memakannya. Sebab, bagi yang memiliki masalah dengan perut, memakan oen paku sedikit saja berpotensi membuat perut bisa menjadi rebana --dari bunyi kalau dipukuli--, selain bisa menjadi perangsang untuk penyakit perut itu kambuh, maag paling mungkin. Sebagai seorang anak yang memang belum kenal jenis analisis apapun, apalagi kenal kontemplasi dan semacamnya. Terus menerus melahap ikan asin, diketahui orang-orang sekitar atawa tetangga saja berpotensi bikin ill-feel (Aceh: Hana mangat sagai). Karena kecenderungan sebagian masyarakat yang [caption id="attachment_164578" align="alignleft" width="262" caption="Atra kamoe ureueng Aceh (Gbr: wordpress.com)"][/caption] kadangkala bisa melihat dengan sorot mata kasihan. Kesan yang ditangkap, mereka yang hidup dengan makan ikan asin adalah jenis manusia yang paling layak dikasihani. Dan sorot mata demikian tentu saja tidak mengenakkan. Lebih tidak enak dari ikan asin busuk sekalipun. Tetapi, tidak jauh dari waktu itu, saya pernah merasa layak berbusung dada--dulu--, ketika beberapa kali bisa hadir di depan saat acara pembagian rapor di sekolah dan nama saya dipanggil sebagai salah satu juara kelas. Catatan ikan asin membawa saya pada kesimpulan; semua yang diluar jiwa tidak memberi pengaruh apa-apa. Mengstabilkan kondisi jiwa, sedia menerima kodrat yang sudah tertulis acapkali menjadi energi yang membuat Tuhan dengan senyum-Nya berikan anugerah yang bisa jadi tidak mudah dicerna logika. Satu lagi, harga ikan asin hari ini melonjak jauh lebih mahal, menurut kabar yang sempat saya dengar. --------------- Also Published in: http://fick-cyber.blosgpot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun