[caption id="attachment_37996" align="alignleft" width="300" caption="Terkadang mulut masyarakat miskin mampu mengeluarkan suara yang lebih merdu menyentuh jiwa (fickar09)"][/caption]
….Yang bekerja di pasar atau biasa seharian di jalanan, tidak membuka-buka artikel di iBI maupun mendapatkan brosur apapun yang dimaksud (yang berhubungan dengan Bank Syariah, pen). Masalah bagi hasil dan bunga, masih banyak orang yang pemahamannya samar-samar (tidak bisa pahami dengan jelas seperti apa itu Bank Syariah).
Demikian kritik seorang pembaca dalam tulisan saya sebelumnya, Bank Syariah: Bunga tidak Haram, setelah saya mencoba untuk tegaskan bahwa polemik bunga dan bagi hasil sudah dijelaskan oleh iBI dalam banyak artikel dan brosur yang disebarkan. Selain itu, seorang rekan, Doddy Purbo, Pengusaha yang juga Kompasianer menyampaikan sudut pandangnya–juga menanggapi tulisan itu– bahwa,”Perkembangan perbankan syariah di Indonesia pada dasarnya bukan karena keislamannya tetapi target pasarlah yang menjadi tujuan. Pengembangan perbankan syariah masih menginduk pada perbankan konvensional dan masih dalam taraf penyesuaian system. Akibatnya, overhead cost perbankan syariah menjadi lebih mahal dari perbankan konvensional sedangkan perhitungan bagi hasilnya tetap berpatokan pada bunga perbankan konvensional. Dengan keadaan tersebut, perbankan syariah terpaksa melakukan penghematan dalam pemberian pelayanan karena marginnya yang lebih tipis dan lebih terfokus pada beda istilah saja. Jika anda masuk dalam operasional bank syariah, maka akan sangat kentara sekali bahwa perbankan syariah adalah perbankan konvensional tetapi berkulit syariah. Wajarlah kalau nasabah banyak yang kecewa, terutama pada pelayanan yang masih terbatas.” Coba membenturkan dengan judul yang telah lebih dulu saya pilih sebelum menulis ini, mungkin iya bahwa dua komentar tersebut tidak bisa dijadikan sebagai indikator kuat untuk menyebut kampanye perbankan syariah selama ini gagal. Hanya saja, saat mencoba menilik latar belakang dari kedua pemberi komentar itu pada tulisan saya itu, Rathy Oktriana, aktifis LSM Koalisi NGO HAM Aceh, memiliki kapasitas intelektualitas yang tidak meragukan. Kemudian Doddy Purbo yang merupakan seorang pengusaha real estate yang lumayan punya nama di Indonesia. Tentu, saya kira tidak bisa ditolak, mereka memiliki alasan kuat untuk menyampaikan kedua kesimpulan itu. Lagi, bisa dipastikan mereka tidak asal bicara dan sembarangan ber-statement. Dan bisa dipastikan mereka telah memikirkan hal itu terlebih dahulu. Nah, secara konkret, meski tidak mutlak, ini tetap saja sah untuk dijadikan sebuah indikator bahwa upaya kampanye perbankan syariah selama ini gagal. Lalu, saat sedang mandi sore, menyikat gigi, secara tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran saya. Kenapa perbankan syariah tidak menjadikan mulut saja sebagai alat kampanye yang lebih diandalkan. Daripada dengan pamflet, bilboard, reklame, brosur yang menghabiskan dana yang tentunya tidak sedikit. Oke, semua sarana itu tetap di fungsikan tetapi tidak terlalu mengandalkan itu. Namun, kembali, mulut agar lebih diandalkan. Mulut siapa? Mulut seperti apa yang dimaksudkan? Iya, tentunya mulut dari nasabah sendiri. Lebih jelasnya, ketika seorang nasabah merasa puas dengan pelayanan yang dilakukan oleh perbankan syariah di Indonesia, mereka tidak berharap kompensasi apapun, akan dengan sendirinya menceritakan dan memberitakan tentang perbankan syariah kepada relasi mereka, teman, sahabat, famili. Secara tidak sengaja mereka bisa menjadi ’suplemen’ yang lebih merangsang untuk menumbuhkan minat calon nasabah lain untuk lebih welcome pada perbankan syariah. Mulut menunjukkan kekuatannya. Berbicara media yang selama ini dipergunakan seperti yang saya haturkan sebelumnya, saya kira tetap saja mulut lebih punya keunggulan. Dan ini pula yang saya pernah temukan dari buku: Mind Power, Bertrand Russel, et.al, bahwa semua indera manusia dipengaruhi ruh, punya daya hipnotis. Sedangkan bilboard, brosur dan sebangsanya tidak memiliki itu. Air bisa menyatu dan membaur lekat dengan air hanya dengan zat yang sama dengannya, juga air. Berbicara pengaruh, jiwa menjadi penentu, pikiran menjadi bagian darinya. Maka untuk menyentuh jiwa itu hanya dengan jiwa juga, dengan mempergunakan media mulut yang digerakkan jiwa. Saya mengilustrasikan seperti itu. Intinya, satu hal yang harus di genjot oleh pengambil kebijakan dalam ‘ring’ Bank Syariah adalah menggenjot itu. Tidak pendekatan lewat physically saja tapi juga psychology–maaf jika berirama mengdikte–. Pendekatan dengan jiwa, mulut sebagai medium. Cari cara agar nasabah yang ada benar-benar terpuaskan, orgasmus, dan percaya saja, mereka akan menjadi iklan berjalan yang akan semakin membesarkan perbankan syariah. Jika dia seorang pengisi seminar-seminar, mungkin akan dengan sendirinya dia ‘mengseminarkan’ juga tentang perbankan syariah, kendati tidak formal. Seorang tukang keliling, mungkin ia juga akan bercerita tentang perbankan syariah kepada pelanggannya. Dan, mereka lebih punya power untuk menyentuh hati manusia dari sekedar bilboard, pamflet and so on. Publish also: http://zoelf-achbar.blogspot.com/2009/12/kampanye-bank-syariah-gagal.html
http://fickartjeh.blogdetik.com/2009/12/15/kampanye-bank-syariah-gagal/http://refleksikita.wordpress.com/2009/12/14/kampanye-bank-syariah-gagal/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H